Suni lelaki 59 tahun yang berprofesi sebagai sopir kelotok tampak memendam beban yang berat, apalagi terik matahahari yang menyengat membuat wajahnya semakin kelihatan menua.

Lelaki yang sudah cukup berumur itu masih setia menunggu para penumpang yang akan memakai jasa penyeberangan menggunakan kelotok miliknya.


Ya dia salah satu pemilik transportasi air di kawasan Pelabuhan Aluh-Aluh, yang masih bertahan dengan kondisi penumpang yang semakin sepi.

“Jumlah penumpang dari tahun ke tahun kian menurun,” keluhnya lirih.

Matahari semakin meninggi, kondisi dermaga kelotok (perahu mesin) di Pelabuhan Aluh-aluh sepi, hanya beberapa kelotok bertambat diayun-ayunkan riak air yang juga terasa enggan.
Sebelumnya Suni sempat bercerita bagaimana perjuangan kehidupannya sebagai seorang jasa kelotok, ia mengaku tidaklah mudah, apalagi saat ini akses transportasi darat sudah semakin enak dan jalan-jalan sudah sangat bagus.
“Kalau dulu pusat aktivitas di pelabuhan sangat padat, jadi hilir mudik kapal itu ramai dan pendapatan pun mencukupi, kalau sekarang sudah sepi belum lagi harga minyak yang mahal,” ujar Suni sambil menunggu penumpang siap diantar.
Lelaki yang mempunyai dua anak itu mengaku, harus mencukupkan segala kebutuhan dengan pemasukan yang setiap hari diperolehnya.
“Biasanya ada yang minta antar ke desa Pulantan, Podok, Sungai Musang bahkan sampai ke Tabunganen, kalau harga untuk sekali nyeberang saya tidak mematok harga tinggi, bisa lima ribu sampai dua puluh ribu, kecuali jarak jauh,” katanya.
Sesekali ia mengela napas agak panjang, lantas dia bercerita tentang masa lalunya.
Suni menjelaskan, Sungai Barito dulunya ternyata sempit tidak seperti sekarang yang mulai melebar karena pengikisan, sementara di sekitaran pelabuhan masih hutan dan rumah warga masih sangat jarang.
“Pasar dan kantor polsek dulunya tak jauh dari pelabuhan, kalau sekarang sudah berpindah agak ke darat, karena mengangkat barang agak jauh dan akses susah, jadi pindah ke depan sana,” terang lelaki yang ternyata pernah juga berprofesi sebagai petani itu.
Ia terdiam sejenak, mengingat masa lalu yang sepertinya ingin diceritakan semua, setelah beberapa saat, Suni kembali bersuara.
“Ketika Haul Abah Guru Sekumpul setahun sekali, banyak warga yang menggunakan jasa kelotok untuk sampai ke Martapura. Dan sampai sekarang maaih ada yang menggunakan jasa kelotok untuk berangkat ke Haul Abah Guru Sekumpul,” tuturnya.
Dari kejajuhan terlihat seorang warga mendekat, ternyata memang benar, perempuan yang akhirnya diketahui bernama Sheila itu ingin menggunakan jasa angkutannya.
Suni yang menahan panasnya terik matahari dengan mengenakan topi purun dan kaos panjang langsung berusaha menghidupkan kelotoknya.
Kebetulan hari itu dia sedang beruntung, sebab ada penumpang yang akan menyeberang ke Desa tetangga dengan menggunakan jasanya.
“Alhamdulillah,” ujar lelaki paruh baya warga Desa Pulantan, Kecamatan Aluh-Aluh, Kabupaten Banjar itu lirih.
Sheila sudah siap menuju kelotok yang akan mengantarnya ke desa seberang. Sesambilan ngobrol ia mengaku, prihatin dengan jasa angkutan kelotok yang semakin minim pendapatan, ditambah pelabuhan yang cukup memprihatinkan kondisinya.
Bahkan menurutnya jika salah menapakan kaki bisa terperosok, melihat kondisi itu, daripada dibiarkan terbengkalai lebih baik dibuat menjadi objek wisata untuk membantu perekonomian masyarakat setempat.
“Semoga para motoris kelotok sehat dan punya penghasilan diluar selain menyediakan jasa penyeberangan. Mau marah ya karena kenyataannya sekarang aja jalan darat sudah mulus, jadi ya bisa saja lokasi-lokasi pelabuhan itu dimanfaatkan lagi entah jadi objek wisata bahari atau apakah biar membantu perekonomian masyarakat setempat,” pungkasnya seraya melambaikan tangan sebab suara gas mesin kelotok sudah meraung-raung tanda siap berangkat.