NEWSWAY.ID, BARABAI–Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Barabai, Muhammad Athaillah, menyatakan penolakan tegas terhadap pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Pilkada yang dinilai bertentangan dengan semangat demokrasi yang diusung oleh Mahkamah Konstitusi (MK).


Menurut Athaillah, RUU Pilkada yang sedang dibahas DPR RI tidak sejalan dengan Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024, yang bertujuan untuk memperluas ruang demokrasi di Indonesia.



“Kami menilai RUU Pilkada yang akan segera disahkan telah keluar dari semangat Putusan MK, yang membuka ruang demokrasi lebih luas bagi masyarakat Indonesia,” ujarnya saat diwawancarai pada Kamis (22/8/2024).

Athaillah juga menyoroti pengembalian ambang batas pencalonan dalam RUU Pilkada yang dianggap mempersempit peluang bagi calon-calon kepala daerah potensial.

“Putusan MK terkait ambang batas pencalonan kepala daerah telah memberikan kesempatan lebih besar bagi mereka yang sebelumnya tidak memenuhi syarat. Namun, DPR justru mempersempit kembali ruang tersebut,” tegasnya.
Lebih lanjut, Athaillah mengkritik politisi yang menurutnya lebih mementingkan kekuasaan daripada nilai-nilai demokrasi. “Saat ini, kita melihat politisi tidak lagi berpolitik dengan nilai kebermanfaatan atau demokrasi.
Mereka lebih fokus pada mempertahankan kekuasaan dengan orang dan kelompok yang sama. Ini bertentangan dengan mandat rakyat,” tambahnya.
Athaillah menyebut tindakan DPR yang cepat-cepat merevisi UU Pilkada sebagai bentuk pembangkangan terhadap hukum dan penghianatan terhadap demokrasi.
Ia menilai DPR telah mengabaikan putusan MK dan dengan sengaja menabrak prinsip-prinsip konstitusi.
“DPR RI melakukan revisi sejumlah pasal dalam UU Pilkada dalam waktu yang sangat singkat, tanpa mempertimbangkan moralitas dan menabrak dinding-dinding konstitusional,” katanya.
Ia menyoroti bahwa dua putusan MK, yakni Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 tentang ambang batas pencalonan kepala daerah dan Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 tentang syarat usia calon kepala daerah, seharusnya memberikan angin segar bagi demokrasi elektoral di Indonesia.
Namun, pembahasan revisi UU Pilkada oleh DPR justru menjadi upaya untuk mengabaikan dan membungkam putusan tersebut.
“Sangat mengecewakan melihat DPR RI, sebagai lembaga legislatif yang seharusnya berfungsi untuk menyusun regulasi dan mengawasi kekuasaan, justru semakin tenggelam dalam nafsu kekuasaan yang menabrak hukum, kewarasan, dan kepercayaan publik,” ujar Athaillah dengan tegas.
Dia menekankan bahwa pembangkangan terhadap konstitusi dengan mengabaikan putusan MK harus dilawan demi supremasi hukum, tegaknya pilar demokrasi, dan kedaulatan rakyat.
“Putusan MK itu bersifat final dan mengikat. DPR RI tidak boleh menganulir putusan tersebut,” pungkasnya.