NEWSWAY.CO.ID, JAKARTA – Tim Hukum Banjarbaru Hanyar (Haram Manyarah) yang bertindak sebagai kuasa hukum Pemohon dalam perkara sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHPKada) Kota Banjarbaru hadir dalam sidang kedua di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (20/01/2025).


Sidang dengan agenda jawaban Termohon (KPU Kota Banjarbaru), pihak terkait, dan Bawaslu berlangsung secara luring di Gedung MKRI 1 Lantai 2 serta daring melalui Zoom yang difasilitasi oleh Mahkamah Konstitusi.



Perkara ini terdaftar dengan nomor 05 PHPU.WAKO-XXIII/2025 dan 06 PHPU.WAKO-XXIII/2025. Sidang dipimpin oleh Panel Hakim MK, yaitu Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H., M.S. (Ketua Panel), Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H., M.Hum., dan Prof. Dr. Anwar Usman, S.H., M.H.

Tim Hukum Pemohon, yang terdiri dari Prof. Denny Indrayana, Dr Muhamad Pazri, Muhammad Maulidin Afdie, Kisworo Dwi Cahyono, Dr Abdul Karim, serta perwakilan Pemohon lainnya, menyatakan bahwa jawaban dari Termohon, KPU Kota Banjarbaru, pihak terkait, dan Bawaslu tidak berdasar dan tidak logis.

Dalam persidangan, Tim Hukum menegaskan legal standing Pemohon sebagai Pemantau Pemilihan dan warga Kota Banjarbaru yang memiliki hak pilih.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf d PMK 3/2024, pemantau pemilihan berhak mengajukan perkara PHPKada apabila hanya terdapat satu pasangan calon.
Pemohon, yang tergabung dalam Lembaga Studi Visi Nusantara Kalimantan Selatan, telah terakreditasi sebagai pemantau oleh KPU Provinsi Kalimantan Selatan dan turut mengawasi jalannya pemilihan di tingkat daerah.
Pemohon mengungkap dugaan pelanggaran konstitusional serius yang dilakukan oleh KPU Kota Banjarbaru, termasuk tidak memberikan opsi kolom kosong pada surat suara dalam Pemilukada Kota Banjarbaru.
Tindakan ini dinilai melanggar hak fundamental warga Kota Banjarbaru untuk memilih, yang dijamin oleh UUD 1945.
Tim Hukum juga menyoroti dalih teknis KPU Kota Banjarbaru terkait pencetakan surat suara. KPU mengklaim tidak sempat mencetak surat suara dengan opsi kolom kosong setelah salah satu pasangan calon didiskualifikasi kurang dari satu bulan sebelum pemungutan suara.
Pemohon menilai alasan ini tidak dapat diterima, mengingat tidak ada aturan spesifik dalam perundang-undangan yang mengatur batas waktu pencetakan surat suara.
“Dengan mencantumkan paslon yang telah didiskualifikasi dalam surat suara, KPU Kota Banjarbaru secara langsung menyebabkan banyaknya suara tidak sah dan menghilangkan hak pilih warga. Ini adalah pelanggaran serius terhadap prinsip demokrasi,” ujar salah satu anggota Tim Hukum.
Tim Hukum menyampaikan keyakinan bahwa Mahkamah Konstitusi akan mengesampingkan aspek formil terkait legal standing Pemohon, mengingat adanya pelanggaran konstitusional dalam Pemilukada Kota Banjarbaru.
Pemohon juga optimis perkara ini akan masuk ke tahap pembuktian dan diputuskan untuk dikabulkan.
Sebagai solusi, Tim Hukum mengusulkan penyelenggaraan ulang Pemilukada Kota Banjarbaru yang harus diambil alih oleh KPU RI guna memastikan proses pemilihan berjalan profesional dan adil.
Sidang berikutnya akan melanjutkan pemeriksaan perkara ini, dengan agenda pembuktian dari masing-masing pihak.
Perkembangan sengketa ini terus menjadi sorotan publik, khususnya warga Kota Banjarbaru yang menantikan keadilan atas hak pilih mereka.