Oleh: Frans Sani Lake
(Direktur JPIC Kalimantan Tengah)

-Di Tanah Ini, Ada Yang Lebih Tua Dari Negara.

Sebelum republik ini berdiri, sebelum peta-peta administratif dibuat, masyarakat adat sudah hidup bersama tanah. Tanah bagi kami bukan benda mati. Ia bernapas. Ia menyimpan jejak langkah nenek moyang, tempat dilantunkan doa-doa pertama dan di situlah kehidupan menemukan bentuknya.

Tapi hari ini, tanah yang kami jaga disebut “Tidak Bertuan.” Di mata negara dan investor, ia hanyalah koordinat, komoditas, peluang pembangunan.
Padahal bagi kami, tanah adalah kitab kehidupan. Setiap pohon adalah aksara. Setiap batu adalah penanda waktu. Dan setiap ladang adalah perpanjangan tangan dari tubuh ibu bumi.
-Peta Dan Surat Izin Tak Pernah Mengenal Jiwa.
Mereka datang membawa peta dan dokumen. Di kertas itu, kampung kami tidak tercantum. Hutan adat kami tidak diberi nama. Sungai keramat yang kami hormati hanya dianggap “Sumber Daya Air.”
Mereka bilang, “Tanah Ini Kosong.” Tapi bagaimana bisa kosong, jika di atasnya hidup pohon, serangga, hewan, dan manusia? Jika di bawahnya tertanam tulang leluhur dan di sekelilingnya tumbuh cerita?
Tanah ini tidak kosong. Ia hanya tak dikenal oleh mereka yang tak mau mendengarkan.
Ruang Yang Hilang, Diri Yang Tercerabut.
Ketika tanah diambil, bukan hanya rumah kami yang lenyap. Kami kehilangan cermin untuk mengenal siapa diri kami.
Sebab tanah bagi masyarakat adat adalah bagian dari identitas. Ia mengikat kami pada waktu dan tempat. Ia menjelaskan siapa kami di tengah semesta. Ia memberi makna pada relasi antara manusia, alam, dan roh-roh yang menjaga harmoni.
Ketika ekskavator menggusur ladang, yang terangkat bukan hanya tanah, tapi akar eksistensi kami sebagai manusia.
-Pembangunan Yang Tak Bertanya, Akan Melukai.
Kita hidup di zaman ketika pembangunan menjadi mantra suci. Segala hal bisa dibenarkan atas nama “Kemajuan.”
Tapi apa artinya kemajuan, jika dibangun dari puing-puing penderitaan? Apa gunanya kota cerdas dan jalan tol, jika di bawahnya terkubur air mata perempuan adat, lenyapnya bahasa ibu dan tempat-tempat suci?
Pembangunan yang tak bertanya akan melukai. Kemajuan yang tak mengenal akan menghancurkan. Dan negara yang lupa asal-usulnya, akan mudah kehilangan arah.
-Tanah Adat Adalah Ruang Spiritualitas Yang Hidup.
Masyarakat adat tidak sekadar menempati tanah. Kami menghidupi dan dihidupi oleh tanah.
Di sana ada, tempat ritual yang hanya bisa diakses dengan hati yang bersih. Batu penanda yang tidak boleh disentuh sembarangan. Pohon-pohon tua yang dianggap sebagai penunggu dan guru.
“Tanah bukan halaman kosong. Ia adalah ruang spiritual yang hidup”. Ketika tanah dihancurkan, bukan hanya ekosistem yang punah, tetapi hubungan manusia dengan semesta turut rusak.
-Peradaban Yang Tak Mengenal Tanah, Akan Tumbuh Rapuh.
Kita sering membanggakan teknologi, kemajuan, dan pertumbuhan ekonomi. Tapi di saat bersamaan, kita mengabaikan tanah yang menopang segalanya.
Jika tanah dirampas, jika hutan dibakar, jika sungai dialihkan, maka yang tinggal hanyalah kemajuan tanpa akar—peradaban yang rapuh, mudah roboh saat krisis datang.
Peradaban tanpa tanah adalah peradaban tanpa ingatan. Dan masyarakat yang kehilangan ingatan, akan kehilangan arah.
-Kami Tidak Menolak Masa Depan, Kami Menolak Dilupakan.
Kami, masyarakat adat, tidak hidup di masa lalu. Kami hidup di hari ini, dan kami juga ingin masa depan. Tapi masa depan itu haruslah berakar. Berakar pada tanah yang adil. Pada pengakuan yang tulus. Pada ruang hidup yang tak dicuri atas nama investasi.
Kami tidak anti pembangunan.
Tapi kami ingin pembangunan yang mengenal kami, yang mengajak bicara, yang menghargai cara kami menjaga bumi.
-Tanah Ini Tak Akan Kami Lepaskan Begitu Saja.
Kami telah menjaga hutan ini tanpa digaji. Kami telah merawat sungai ini tanpa upah. Kami telah menanam, merawat, dan memanen tanpa merusak.
Dan sekarang, ketika semua itu ingin diambil oleh mereka yang tak pernah menanam, kami akan berdiri. Kami tidak akan diam.
Kami tidak akan menyerahkan tanah ini begitu saja—karena tanah ini bukan milik pribadi, tapi milik generasi yang belum lahir.
-Seruan Dari Tanah Leluhur.
Hari Masyarakat Adat Internasional 2025 bukan sekadar hari seremoni. Ini adalah hari untuk mengingat bahwa dunia modern telah terlalu lama berjalan tanpa menoleh.
Sudah saatnya berhenti sejenak. Mendengar. Merenung.
Dari Kalimantan kami berseru,
“Tanah adat bukan halaman kosong”.
Ia adalah buku yang ditulis dengan keringat, darah, dan cinta. Ia adalah warisan yang tak bisa dibeli oleh kontrak, dan tak bisa diukur dengan meter persegi.
-Jika Ingin Membangun, Belajarlah Dulu Menghormati.
Sebelum membangun gedung, bangunlah rasa hormat. Sebelum menggambar peta, dengarkan suara. Sebelum membawa alat berat, bawa dulu pemahaman.
Karena hanya bangsa yang menghormati tanahnya yang akan bertahan. Dan hanya dunia yang merawat masyarakat adat yang akan punya masa depan.