NEWSWAY.CO.ID, BANJARMASIN – Diskusi mengenai rencana alihfungsi Meratus menjadi taman nasional memicu penolakan keras dari masyarakat dan aktivis lingkungan.

Sejak September 2024, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan mencanangkan rencana menjadikan Meratus sebagai taman nasional. SK penetapan mengenai taman ini direncanakan keluar pada akhir tahun.

Pemerintah beralasan, langkah tersebut dilakukan untuk melindungi keanekaragaman hayati. Selain itu, jug memastikan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan, sehingga disebut sebagai upaya konservasi.

Namun, aktivis yang menyoroti isu ini menilai kebijakan tersebut cacat prosedur.

Perwakilan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Selatan, Okta menegaskan, pemerintah tidak melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan.

“Hak masyarakat adat dilanggar. Wilayah itu merupakan milik mereka, yang selama ini sudah mereka tempati. Bahkan tanpa bantuan pemerintah pun, mereka bisa menjaga,” ujarnya.

Jurnalis Mongabay Indonesia, Rendy Tisna, mengungkapkan bahwa data deforestasi pada 2002–2023 menunjukkan kerusakan hutan di wilayah adat Meratus sangat kecil.
“Masyarakat adat menjaga hutan mereka jauh lebih baik dibandingkan negara. Lalu, mengapa harus diambil alih dengan dijadikan taman nasional?,” ujarnya.
Tanggapan lain datang dari perwakilan komunitas Gemar Belajar, Gaga. Ia menilai, keberadaan taman nasional justru berpotensi merendahkan praktik konservasi yang selama ini dimiliki masyarakat adat.
“Masyarakat adat ada jauh sebelum negara ini berdiri. Mereka paham siklus alam, ritual, dan tradisi untuk menjaga hutan,” ucapnya.
Ia juga menyoroti bahwa taman nasional di wilayah lain kerap tidak memberikan manfaat signifikan bagi warga setempat. Menurutnya, jika kebijakan ini diterapkan tanpa melibatkan warga, manfaatnya akan nihil.
“Taman nasional jangan sampai menjadi kedok untuk mengeksploitasi alam Meratus,” tambahnya.
Reporter newsway.co.id Barito Kuala/Banjarmasin: Aminah