Oleh : GMPD
Penunjukan Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Sekolah SMP Negeri 1 Banjarbaru memunculkan kontroversi yang melampaui sekadar soal administratif. Polemik ini mengemuka lantaran adanya perbedaan antara rekomendasi internal sekolah dengan usulan resmi yang disampaikan Dinas Pendidikan (Disdik) kepada Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM). Nama yang tercantum dalam surat permohonan kepala sekolah sebelumnya, yakni Noor Syamsu Riza, M.Pd, tidak sama dengan nama yang akhirnya ditetapkan melalui Surat Perintah Tugas Wali Kota.
Lebih jauh, beredar kabar calon Plt yang ditetapkan sempat datang ke Disdik dengan didampingi seorang anggota DPRD Banjarbaru. Isu inilah yang kemudian memperkuat kecurigaan adanya intervensi politik dalam proses yang seharusnya teknokratis. Gerakan Masyarakat Peduli Demokrasi (GMPD) Banjarbaru bahkan melayangkan laporan resmi kepada Badan Kehormatan DPRD, menilai hal ini sebagai pelanggaran etik sekaligus ancaman bagi integritas tata kelola pendidikan.
Mekanisme yang Terlewatkan
Sejumlah guru SMPN 1 mengungkapkan bahwa secara prosedural, penunjukan Plt kepala sekolah biasanya mengikuti mekanisme yang jelas: rekomendasi dari kepala sekolah terdahulu dan diprioritaskan kepada wakil kepala sekolah bidang kurikulum atau kesiswaan. Mekanisme ini penting bukan semata karena tradisi birokrasi, melainkan karena ia menjaga kesinambungan manajemen sekolah.
“Untuk bisa menduduki Plt kepala sekolah harus mendapatkan rekomendasi dari kepala sekolah terdahulu. Selain itu, dia juga harus berposisi sebagai wakil kepala sekolah bidang kurikulum atau kesiswaan saat ditunjuk,” ujar seorang guru yang enggan disebut namanya, 4 September 2025. Guru tersebut menegaskan bahwa penunjukan Plt harus dilakukan secara transparan agar tidak menimbulkan polemik di internal sekolah.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan rekomendasi internal sekolah tampak terabaikan. Akibatnya, muncul keresahan, bahkan tudingan bahwa siapa yang memiliki kedekatan politik akan lebih berpeluang menduduki jabatan strategis dibanding yang memenuhi kriteria formal.
Perspektif Regulasi
Regulasi sebenarnya sudah sangat jelas. Keputusan Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan Nomor 4338/B.B1/HK.03.01/2024 mengatur secara detail syarat dan tata cara penunjukan Plt Kepala Sekolah. Di antaranya: diutamakan guru dari sekolah yang bersangkutan, memiliki pengalaman manajerial minimal dua tahun, sertifikat pendidik, hasil penilaian kinerja dengan predikat minimal “baik” dua tahun terakhir, serta sehat jasmani-rohani.
Selain itu, Plt Kepala Sekolah hanya diberi masa tugas paling lama tiga bulan, dengan opsi perpanjangan satu kali. Kewenangannya pun dibatasi: menjalankan tugas rutin kepala sekolah definitif, menandatangani ijazah, mengusulkan kenaikan gaji, dan evaluasi kinerja. Plt tidak boleh mengambil keputusan strategis yang berdampak pada organisasi, kepegawaian, atau anggaran.
Dari perspektif hukum kepegawaian, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 dan UU ASN Nomor 5 Tahun 2014 juga menegaskan: intervensi politik dilarang dalam jabatan ASN. Maka, dugaan adanya peran anggota DPRD dalam penunjukan Plt jelas bertentangan dengan prinsip dasar tata kelola ASN yang meritokratis.
Klarifikasi dari Pihak Sekolah dan Pemerintah
Emy Ambarwati, mantan Kepala SMPN 1, memberikan penjelasan berbeda. Ia menyebut bahwa surat rekomendasi dirinya tidak bersifat mutlak, melainkan sekadar usulan. “Kalau rekomendasi tak diterima, itu di luar kewenangan saya, karena keputusan tetap ada di Disdik dan pimpinan lebih tinggi, Wali Kota Banjarbaru,” ujarnya (11/9/2025).
Emy meminta seluruh guru legawa dan memberi kesempatan Plt yang ditunjuk untuk bekerja. Menurutnya, masa tugas Plt yang hanya tiga bulan bisa menjadi ruang evaluasi kinerja: jika baik, bisa dipertahankan; jika tidak, ada ruang koreksi. Namun, ia juga menyayangkan surat internal yang bocor ke publik, yang kemudian memicu kegaduhan.
Di sisi lain, Kepala BKPSDM Banjarbaru, Dr. Gustafa Yandi, menegaskan bahwa penunjukan Plt SMPN 1 sudah sesuai mekanisme. Ia menyebut bahwa usulan Disdik hanya bersifat rekomendasi, sementara keputusan final berada di tangan Wali Kota. “Surat perintah ditandatangani langsung oleh Ibu Wali Kota,” tegas Yandi.
Bahaya Moral Hazard
Meski ada klarifikasi, polemik ini tetap menyisakan persoalan serius. Dari perspektif tata kelola publik, praktik intervensi dalam penunjukan pejabat pendidikan menciptakan moral hazard yang berbahaya. Pertama, memberi kesan bahwa jabatan strategis bisa diakses lewat kedekatan politik, bukan kompetensi. Kedua, merusak kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan yang seharusnya steril dari politik praktis. Ketiga, berpotensi memecah belah internal sekolah, ketika guru lebih sibuk dengan tarik-menarik dukungan politik ketimbang fokus pada mutu pembelajaran.
Padahal, Plt Kepala Sekolah bukan sekadar jabatan administratif sementara. Ia memegang peran strategis dalam menjaga kesinambungan tata kelola sekolah, mengawasi guru, dan memastikan kualitas pembelajaran tetap terjaga. Jika penunjukan Plt cacat sejak awal, publik wajar meragukan legitimasi dan efektivitas kebijakan pendidikan daerah.
Momentum Refleksi dan Tuntutan GMPD
Kasus SMPN 1 Banjarbaru harus menjadi momentum refleksi serius. Pendidikan adalah sektor fundamental yang tidak boleh dikotori oleh kepentingan politik jangka pendek. GMPD Banjarbaru menegaskan beberapa tuntutan:
Badan Kehormatan DPRD Banjarbaru harus menyelidiki dugaan keterlibatan anggota dewan dalam proses penunjukan Plt Kepala Sekolah. Jika terbukti, sanksi etik berat hingga pemberhentian dari keanggotaan DPRD adalah konsekuensi logis untuk menjaga kehormatan lembaga.
Pemkot Banjarbaru perlu memperkuat transparansi dan konsistensi regulasi dalam setiap penunjukan pejabat pendidikan, agar meritokrasi benar-benar dijalankan.
Masyarakat pendidikan—guru, orang tua, dan warga—perlu ikut serta dalam pengawasan publik. Pendidikan tidak boleh menjadi ruang tertutup birokrasi, melainkan urusan bersama yang menyangkut masa depan generasi.
Penutup
Polemik Plt Kepala Sekolah SMPN 1 Banjarbaru memberi pelajaran penting tentang rapuhnya tata kelola pendidikan ketika intervensi politik masuk ke dalamnya. Pendidikan hanya bisa berjalan baik bila dijaga oleh meritokrasi, akuntabilitas, dan profesionalisme.
Sekolah bukanlah arena perebutan pengaruh politik. Ia harus dikembalikan pada fungsi hakikinya: ruang pengabdian bagi ilmu pengetahuan, karakter, dan masa depan anak-anak Banjarbaru.