Pak Jai : Jejak Sunyi Sang Penjaga Fiskal Banjarbaru

by
1 Oktober 2025
Kepala BPKAD Kota Banjarbaru yang resmi purna tigas pada 1 Oktober 2025, Jainudin, S Sos M AP. (Foto : Doc Newsway.co.id)

Di balik kemeja rapi, dan sikap tenang, tersimpan cerita tentang kesetiaan, kerja sunyi, dan cinta tulus seorang birokrat untuk kota yang dicintainya.

~ Advertisements ~

Di sela percakapan ringan di sebuah ruangan, seorang kolega Pak Jai—begitu ia akrab disapa—tiba-tiba berujar: “Argentina butuh hampir tiga dekade untuk menemukan pengganti Diego Maradona. Lionel Messi akhirnya lahir, namun jeda panjang itu membuktikan bahwa ada sosok yang begitu berharga hingga tampak nyaris tak tergantikan.”

Ucapan itu terasa seperti cermin. Beberapa orang yang hadir di ruangan sontak tergelak, suasana sejenak mencair. Pak Jai hanya menanggapi dengan senyum sederhana—senyum khasnya yang seolah menahan banyak cerita di balik pengabdian panjang. Di Banjarbaru, kisah serupa terdengar melalui sosok H. Jainudin, S.Sos., M.AP., Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), yang pada 1 Oktober 2025 resmi purna tugas setelah 28 tahun mengabdi.

Sejak 2015, Jainudin menempati kursi Eselon II. Dari titik itulah ia menjadi benteng fiskal Banjarbaru. Tidak banyak warga mengenalnya ketika berjalan di pasar atau di keramaian kota, tetapi hampir setiap kebijakan penting yang menyangkut hajat hidup masyarakat melewati tangannya. Ia bukan sekadar “juru bayar” anggaran, melainkan penjaga kepercayaan. Sosok yang menghadirkan ketenangan dalam rapat-rapat anggaran yang kerap tegang, sekaligus penjamin bahwa Banjarbaru tetap melangkah di jalur aman.

“Kalau beliau bicara, dewan tenang. Kalau beliau menjelaskan, kami yakin,” kata seorang anggota DPRD Banjarbaru. Kalimat sederhana itu merangkum peran yang jarang tampil di sorotan publik: kehadiran seorang teknokrat yang memastikan denyut fiskal kota tetap stabil.

Dalam dunia birokrasi, tidak semua pejabat meninggalkan jejak yang dikenang. Ada yang berlalu begitu saja, ada pula yang menyisakan tanda. Jainudin masuk golongan terakhir. Ia menandai masanya dengan disiplin fiskal yang tak kenal kompromi, keberanian mencari pembiayaan alternatif, serta komitmen menjaga defisit agar tidak membebani generasi berikutnya.

Warisan kerja teknisnya terlihat jelas pada Pasar Bauntung Banjarbaru. Proyek itu bukan sekadar bangunan fisik, tetapi simbol kecerdikan fiskal seorang Jainudin. Ia berhasil melobi PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) melalui program RIDF untuk memberikan pinjaman ratusan miliar, di tengah keterbatasan APBD. Di balik meja kerjanya yang penuh berkas, ia diam-diam mengubah keterbatasan menjadi peluang, menjadikan Banjarbaru punya wajah baru di mata warganya.

Bukan hanya itu, ia meninggalkan jejak lain tentang bagaimana menghadapi keterbatasan fiskal dengan kepala dingin dan strategi yang tajam.

Di tengah anggaran yang serba terbatas, ia mengajarkan tiga hal sederhana, namun mendalam maknanya. Pertama, mengutamakan skala prioritas. Setiap rupiah, katanya, harus diarahkan ke sektor yang benar-benar menyentuh masyarakat. Proyek yang tak mendesak lebih baik ditunda. Prinsipnya lugas: “Belanja boleh kecil, tapi manfaat harus besar.”

Kedua, mencari sumber pembiayaan alternatif. Ia bukan tipe birokrat yang pasrah menunggu alokasi pusat. Jainudin mendorong pemanfaatan pinjaman daerah yang produktif, bukan konsumtif. Pasar Bauntung adalah bukti keberanian dan kecerdikan itu—memanfaatkan instrumen fiskal yang jarang disentuh daerah lain di Kalimantan.

Ketiga, menjaga defisit dengan disiplin. Setiap kali berbicara di hadapan DPRD, ia kerap mengingatkan: defisit tidak boleh dibiarkan liar. “Kalau defisit dibiarkan, rakyat yang akan menanggungnya,” ucapnya. Ada nada kehati-hatian sekaligus keberpihakan kepada publik dalam kalimat itu.

Ujian terberat datang menjelang 2026, ketika ia melihat transfer dana pusat merosot tajam. Beban fiskal nasional yang kian berat membuat daerah harus bersiap menggali pendapatan asli daerah dengan cara-cara kreatif. Di salah satu percakapannya, Jainudin menekankan tiga arah baru: digitalisasi pajak daerah agar basis penerimaan makin luas, efisiensi belanja rutin dengan memangkas program tumpang tindih, serta membangun kemitraan dengan swasta untuk membiayai infrastruktur tanpa membebani APBD.

Bagi sebagian orang, strategi ini mungkin terdengar teknis, kering, penuh angka. Namun di tangan Jainudin, itu menjelma narasi perjuangan: tentang bagaimana menjaga rumah tangga daerah agar tetap kokoh, meski dapur keuangannya tidak selalu penuh. Ia seakan ingin mengatakan bahwa kepemimpinan bukan soal banyaknya dana yang tersedia, melainkan tentang kebijaksanaan menggunakannya.

Yang membuat kisah Jainudin semakin istimewa, ia bukan datang dari dunia keuangan murni. Ia ditempa di Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN)—yang kini dikenal sebagai IPDN—sebuah kawah candradimuka yang menggembleng para pamong dalam tiga ranah utama: Ilmu Politik Pemerintahan, Manajemen Pemerintahan, dan Tata Hukum Pemerintahan. Bekal itu membuatnya lebih paham denyut birokrasi dan seni meramu kebijakan publik daripada sekadar hitung-hitungan anggaran. Seandainya ia lulusan STAN atau Fakultas Ekonomi, prestasinya mungkin terdengar lumrah. Namun, justru karena berasal dari jalur pemerintahan murni, keberhasilannya mengelola keuangan daerah menjadi sebuah ironi indah: bahwa integritas, ketelitian, dan kepiawaian berkomunikasi bisa jauh lebih menentukan daripada sekadar gelar akademis di bidang keuangan.

Kesederhanaannya juga menjadi teladan. Laporan harta kekayaannya di KPK hanya mencatat beberapa kendaraan pribadi, termasuk Toyota Avanza keluaran 2005. Untuk ukuran pejabat yang memegang kunci keuangan Banjarbaru, itu kontras. Namun justru dari kesederhanaan itu ia meninggalkan pesan bahwa amanah bisa dijalankan tanpa harus memperkaya diri.

Meski demikian, ia dikenal perfeksionis. Penampilannya selalu rapi, seolah baju kerjanya disetrika dengan setrika arang jaman dulu yang ujung atasnya ada ayam jago. “Dari dulu memang begitu, tak pernah kusut,” ujar seorang kolega. Di balik kerapihan kemeja itu, tersembunyi kerja keras tanpa lelah mengatur denyut fiskal kota.

Kini, setelah melewati satu dekade di kursi BPKAD, ia pamit dengan kepala tegak. “Purna tugas bukan akhir segalanya. Insya Allah, saya tetap siap membantu dengan cara berbeda, demi Banjarbaru Emas,” ucapnya. Pernyataan ini menegaskan bahwa ruang pengabdian belum usai. Justru di titik ini, Banjarbaru membutuhkan sosok seperti Jainudin dalam wadah-wadah strategis, misalnya di Tim Percepatan Pembangunan Daerah (TP2D). Dengan kondisi fiskal nasional yang masih bergejolak dan ancaman penurunan transfer pusat pada 2026, TP2D Banjarbaru sangat memerlukan figur penjaga fiskal yang berpengalaman untuk memberi masukan, menjaga kehati-hatian, dan memastikan pembangunan tetap berlanjut tanpa melukai stabilitas keuangan kota.

Pertanyaan besar kini menggantung: siapa yang sanggup menggantikan sosok itu? Apakah Banjarbaru harus menunggu lama menemukan “Messi”-nya di bidang fiskal? Harapannya, jeda itu tak panjang. Sebab Banjarbaru tak hanya butuh seorang yang piawai menghitung angka, tetapi juga yang mampu menjaga kepercayaan publik dengan kebijaksanaan dan integritas.

Bahkan menjelang detik-detik terakhir masa baktinya, dedikasi itu tak pernah padam. Lihatlah di akun Instagram Wali Kota Lisa: sehari sebelum resmi purna tugas, Mendampingi Walikota, Jainudin masih berada di Yogyakarta. Ia mengikuti High Level Meeting Digitalisasi Daerah bersama Tim Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Daerah (TP2DD), berdampingan dengan Bank Kalsel.

Kehadiran itu bukan sekadar tanda formalitas. Ia adalah ikhtiar terakhir seorang abdi negara untuk memastikan percepatan digitalisasi transaksi keuangan daerah: dari penerapan Kartu Kredit Pemerintah Daerah (KKPD) hingga SP2D Online. Pesan yang ditinggalkan amat jelas: meski esok ia menanggalkan jabatannya, komitmen menghadirkan tata kelola keuangan yang transparan, efisien, dan akuntabel tetap dijaga hingga akhir.

Di situlah teladan seorang birokrat lahir. Bahwa pengabdian sejati tak pernah berhenti di batas jabatan, melainkan terus menyala di setiap usaha menghadirkan pelayanan publik yang modern dan bermanfaat luas. Di situlah arti seorang penjaga fiskal: bekerja dalam diam, membangun dalam sunyi, dan meninggalkan kepercayaan yang tak ternilai.

Hari ini, Banjarbaru mengantarkan Jainudin ke pintu purna tugas dengan rasa haru. Dari jalan-jalan yang kini mulus, dari pasar yang berdiri kokoh, dari laporan keuangan yang tertata rapi—kita menemukan jejaknya. Bukan jejak seorang pencari popularitas, melainkan seorang penjaga amanah.

Selamat purna tugas, Pak Jai. Semoga ruang pengabdian baru terbuka lebih lapang, mengalirkan inspirasi bagi Banjarbaru untuk terus melangkah. Sebab dari jejak sunyi seorang penjaga fiskal, kita belajar: pengabdian yang tulus selalu lebih panjang daripada sekadar masa jabatan.

By : Yopi

Tinggalkan Balasan

Latest from Blog