NEWSWAY.CO.ID, MARTAPURA – Rokok menempati posisi sebagai pengeluaran rumah tangga tertinggi kedua di Kabupaten Banjar, setelah beras dan di atas ikan-ikanan, berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2024.

Fenomena ini dinilai Prof. Dr. M. Handry Imansyah, M.A.M., Ph.D, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis sekaligus Ketua SDGs Center Universitas Lambung Mangkurat (ULM), sebagai fenomena ekonomi yang memiliki dua sisi yaitu satu sisi menggerakkan roda perdagangan, namun di sisi lain menekan kesejahteraan masyarakat berpendapatan rendah.
“Rokok memang mendorong aktivitas ekonomi melalui perdagangan dan distribusi, tapi di sisi lain juga menciptakan distorsi terhadap kesejahteraan rumah tangga,” ucapnya, Rabu (8/10/2025).
Dari sisi makro, konsumsi rokok dianggap berkontribusi pada perputaran uang di daerah. Setiap batang rokok yang dibeli menciptakan transaksi antara pedagang, distributor, dan konsumen.
Sektor perdagangan eceran di Kabupaten Banjar sendiri termasuk lima besar penyumbang Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), sebagian berasal dari penjualan kebutuhan harian seperti makanan siap saji dan rokok.
Dengan rata-rata pengeluaran mencapai Rp70.647 per kapita per bulan, peredaran uang dari pembelian rokok di Banjar diperkirakan mencapai miliaran rupiah setiap bulan.
Namun menurut Prof. Handry, kontribusi ekonomi tersebut bersifat semu dan tidak produktif.
“Sebagian besar produk rokok dipasok dari luar daerah seperti Jawa Timur dan Kudus, sehingga nilai tambah industrinya tidak terjadi di Banjar. Artinya, sebagian besar uang masyarakat justru keluar dari perekonomian lokal,” jelasnya.
Dari sisi mikro ekonomi, tingginya konsumsi rokok berdampak langsung pada kesejahteraan keluarga. Berdasarkan data BPS, kelompok rumah tangga dengan pendapatan 40% terbawah justru memiliki tingkat konsumsi rokok cukup tinggi.
“Uang yang seharusnya bisa digunakan untuk pendidikan, gizi, atau investasi produktif justru terserap untuk membeli rokok,” terang Handry.
Dalam istilah ekonomi, hal ini disebut opportunity cost of consumption yaitu biaya peluang dari konsumsi yang tidak produktif.
Selain menekan pengeluaran penting, kebiasaan merokok juga menimbulkan beban kesehatan jangka panjang yang akhirnya menurunkan produktivitas tenaga kerja dan meningkatkan biaya publik di bidang kesehatan.
Meski berdampak negatif terhadap kesejahteraan, Handry mengakui rokok masih menjadi bagian penting dari ekonomi informal di tingkat warung dan pedagang kecil.
“Tanpa menjual rokok, banyak warung kehilangan daya tarik pembeli. Rokok sering menjadi penggerak arus kas harian usaha kecil,” ujarnya.
Karenanya, solusi tidak cukup hanya dengan membatasi konsumsi, tetapi juga mengalihkan belanja masyarakat ke produk produktif lokal, seperti makanan olahan, usaha kuliner, dan pertanian bernilai tambah.
Secara keseluruhan, Prof. Handry menilai bahwa tingginya konsumsi rokok tidak dapat dianggap sebagai tanda pertumbuhan ekonomi yang sehat.
“Memang ada perputaran uang, tapi kontribusinya terhadap pembangunan sangat kecil dan cenderung kontraproduktif terhadap kesejahteraan jangka panjang,” ujarnya.
Ia menekankan pentingnya perubahan pola konsumsi masyarakat agar perekonomian daerah bisa tumbuh lebih sehat, inklusif, dan produktif.
“Tingginya pengeluaran untuk rokok seharusnya menjadi alarm kebijakan, bukan indikator keberhasilan ekonomi,” pungkasnya.(nw)