NEWSWAY.CO.ID, BANJARBARU – Kasus dugaan keracunan massal dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, kembali memicu sorotan tajam publik.

Data sementara mencatat sebanyak 86 siswa dari beberapa sekolah — terdiri dari MAN Assalam, MTs Assalam, SD Muhammadiyah, dan SDN 1 Pasayangan — dilarikan ke RS Ratu Zalecha Martapura setelah mengalami gejala mual, muntah, pusing, dan sakit perut usai menyantap menu MBG berupa nasi kuning, ayam suir, orek tempe, oseng sayur, dan potongan melon.
Kejadian tersebut dibenarkan Kapolres Banjar AKBP Fadli, ia menyebutkan bahwa sampel makanan telah disita untuk pemeriksaan laboratorium guna memastikan penyebab pasti keracunan.
Menanggapi kejadian tersebut, Direktur LBH Borneo Nusantara (LBH BN) Banjarbaru–Martapura, Ahmadi, S.H., M.H., menegaskan bahwa kasus ini tidak boleh dianggap sepele.
Menurutnya, meski program MBG adalah inisiatif yang baik dari pemerintah pusat untuk meningkatkan gizi anak bangsa, namun keselamatan penerima manfaat harus menjadi prioritas utama.
“Niat baik pemerintah harus diimbangi dengan tanggung jawab hukum dan pengawasan yang ketat. Keracunan massal anak sekolah bukan sekadar insiden, tapi indikasi bahwa sistem keamanan pangan program MBG masih rapuh,” tegas Ahmadi, S.H., M.H., dalam keterangan pers LBH BN, Kamis (9/10/2025).
Ahmadi menjelaskan bahwa jika terbukti ada kelalaian dalam pengadaan, pengolahan, atau distribusi makanan MBG, maka penyelenggara maupun vendor katering bisa dimintai pertanggungjawaban pidana dan perdata.
“Pasal 360 KUHP jelas mengatur ancaman pidana bagi siapa pun yang dengan kelalaian menyebabkan orang lain sakit. Selain itu, UU Perlindungan Konsumen juga mengatur pidana hingga 5 tahun dan denda Rp2 miliar bagi pelaku usaha yang tidak memenuhi standar keamanan pangan,” ujarnya.
“Sedangkan bagi korban yang merasakan kerugian akibat keracunan tersebut juga bisa menuntut secara perdata baik secara perorangan maupun class action, mengacu pada Pasal 1365 KUHPerdata,” tambahnya.
LBH BN menegaskan pentingnya pemahaman terhadap ketentuan pidana terkait kelalaian yang menyebabkan kerugian pada orang lain.
Pasal 359 KUHP mengatur tindak pidana karena kelalaian yang menyebabkan kematian orang lain, dengan ancaman pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.
Sementara itu, Pasal 360 KUHP mengatur tentang kelalaian yang menyebabkan orang lain mengalami luka berat atau sakit, dengan ancaman pidana penjara maksimal lima tahun atau kurungan maksimal satu tahun.
Ahmadi menegaskan, “Penerapan kedua pasal ini harus menjadi perhatian serius aparat penegak hukum agar setiap pihak yang lalai dalam menjamin keamanan pangan anak sekolah dapat dimintai pertanggungjawaban sesuai hukum yang berlaku, namun kita bisa gunakan dulu asas ultimum remedium yaitu prinsip hukum yang menyatakan bahwa hukum pidana adalah upaya terakhir (obat terakhir).
Terpisah, Ketua Yayasan Edukasi Hukum Indonesia (YEHI) sekaligus Pendiri LBH Borneo Nusantara (LBH BN), Dr. Muhamad Pazri, S.H., M.H., menyebut kasus ini sebagai alarm nasional atas lemahnya sistem pengawasan keamanan pangan di sekolah-sekolah Indonesia.
“Pemerintah pusat dan daerah harus bergerak cepat melakukan evaluasi total terhadap mekanisme pengadaan dan distribusi pangan di sekolah-sekolah. Program strategis seperti MBG tidak boleh menjadi ajang coba-coba yang mengorbankan keselamatan anak bangsa,” ujar Dr. Pazri.
Beliau juga mendorong pembentukan satuan pengawasan independen yang melibatkan unsur masyarakat sipil, ahli gizi, dan lembaga hukum untuk memantau pelaksanaan program pangan anak sekolah.
“Keamanan pangan adalah hak dasar setiap anak. Negara tidak hanya wajib memberi makan, tetapi juga wajib menjamin bahwa makanan itu aman dan menyehatkan. Bila terbukti ada kelalaian, harus ada pertanggungjawaban hukum yang tegas agar kasus ini tidak terulang,” tegasnya.
Selain itu, Dr. Pazri menyerukan agar pemerintah menyusun Protokol Keamanan Pangan Sekolah Nasional yang mengatur standar higiene dapur, proses distribusi, serta sistem deteksi dini keracunan di satuan pendidikan.
“Ini bukan hanya soal kesehatan, tapi soal tanggung jawab moral dan hukum negara terhadap anak-anak kita,” tutupnya.
Dalam pernyataannya, LBH BN menyerukan lima langkah konkret untuk mencegah kasus serupa di masa depan:
- Audit menyeluruh terhadap rantai distribusi MBG, mulai dari bahan baku hingga distribusi ke sekolah.
- Pemeriksaan forensik pangan oleh BPOM dan Dinas Kesehatan, dengan hasil disampaikan secara terbuka ke publik.
- Evaluasi dan pembinaan ketat terhadap vendor katering, hanya yang bersertifikat laik hygiene yang boleh melayani program.
- Jaminan hak korban, termasuk biaya pengobatan, pendampingan hukum, dan kompensasi bila terbukti ada kelalaian.
- Pendidikan keamanan pangan di sekolah, agar guru dan siswa memahami prosedur penanganan dini keracunan.
“Program MBG adalah program strategis nasional yang menyentuh rakyat kecil. Tapi negara wajib memastikan bahwa setiap suapan dari program ini adalah makanan yang aman, sehat, dan bermartabat.
LBH Borneo Nusantara menyatakan siap memberikan pendampingan hukum bagi keluarga korban keracunan MBG di Kabupaten Banjar, serta mendorong evaluasi nasional terhadap mekanisme pengawasan program serupa di daerah lain.
“Ini bukan untuk menyalahkan siapa pun, tapi untuk memastikan agar tragedi seperti ini tidak terulang dan kepercayaan publik terhadap program pemerintah tidak hilang,” ujar Ahmadi menutup pernyataannya.(nw)