NEWSWAY.CO.ID, YOGYAKARTA – Suara gesekan amplas terdengar lembut dari sebuah rumah sederhana di wilayah Ngulakan, Hargorejo, Kokap, Kulon Progo. Di dalam ruangan, beberapa pekerja duduk menghadap potongan bambu. Mereka sedang menyempurnakannya menjadi gendewa.
Di tengah para pekerja, Joko Triyanto tampak teliti memeriksa lengkung gendewa. Ia harus memastikan, peralatan panahan itu dibuat dengan sempurna.
“Kalau kurang sabar, hasilnya bisa melengkung tidak pas,” ujarnya kepada wartawan.
Sudah lebih dari sepuluh tahun Joko menekuni dunia jemparingan, panahan tradisional gaya Mataram. Kecintaan terhadap aktivitas panahan bermula pada 2012, saat ia melihat anak-anak di lingkungannya sibuk bermain gawai. Ia ingin memperkenalkan permainan yang melatih fokus dan ketenangan, bukan sekadar hiburan.
Dari niat itu, Joko mulai membuat busur sendiri dan mengajak warga sekitar berlatih jemparingan. Awalnya hanya hobi, namun perlahan menjadi sumber penghasilan. Setiap enam bulan, ia mampu memproduksi hingga 20 gendewa dan ratusan anak panah. Pesanan datang dari berbagai daerah, bahkan sampai mancanegara.
“Pernah kirim ke Swiss. Kalau di Indonesia, sampai Toba, Sumba dan Kalimantan Utara,” ujarnya bangga.
Bambu dari daerah Kokap menjadi bahan utama pembuatan gendewa. Harga jualnya bervariasi, antara Rp350 ribu hingga Rp1,2 juta, tergantung bahan dan tingkat kerumitan.
Namun bagi Joko, setiap gendewa bukan sekadar barang dagangan. Ia percaya setiap busur punya karakter tersendiri, begitu juga orang yang memakainya.
“Ada yang sabar, ada yang emosian. Kalau tahu karakternya, kita bisa sesuaikan kelenturan bambunya,” ujarnya.
Joko berpendapat, jemparingan bukan hanya soal membidik. Setiap orang yang melakukannya bisa belajar menenangkan hati.
“Melalui panahan, kita bisa mengelola perasaan,” ujarnya.
Untuk memasarkan produknya, Joko mengandalkan cara sederhana, yakni lewat Facebook, mulut ke mulut dan kerja sama dengan sekolah-sekolah. Ia juga sering diundang untuk melatih anak-anak, memperkenalkan jemparingan sebagai kegiatan pendidikan karakter.
“Anak-anak jadi belajar fokus dan tidak mudah marah. Harapannya, makin banyak yang tertarik dengan olahraga ini,” ujarnya.
Kegiatan Press Tour lokal wartawan lokal Kulon Progo di rumah produksi milik Joko itu diselenggarakan Dinas Kominfo setempat. Kepala Dinas Kominfo, Agung Kurniawan mengatakan, kegiatan tersebut bertujuan mengangkat jemparingan sebagai ikon budaya lokal.
“Kami ingin tradisi ini tetap hidup dan dikenal generasi muda,” ucapnya.
Sementara itu, Joko Mursito, Kepala Kundho Kabudayan Kulon Progo sekaligus Sekjen Jemparingan Nusantara, menjelaskan bahwa jemparingan di Kulon Progo merupakan gagrak Mataram, panahan yang membawa simbol Kasultanan dan didukung Kadipaten.
“Dulu, hanya keluarga keraton yang boleh berlatih. Namun sejak 1990-an masyarakat umum sudah bisa ikut dan membentuk paguyuban,” katanya.
Menurutnya, jemparingan bukan hanya olahraga, tapi juga pelestarian nilai budaya. Kini, tradisi itu terus dikembangkan menjadi atraksi wisata budaya.
“Pembinaan dilakukan di sekolah dan paguyuban. Kami juga berinovasi dengan gendewa rakitan agar mudah dibawa. Harapannya, jemparingan bisa jadi daya tarik khas Kulon Progo,” ujarnya menutup acara. (nw)
