Penulis : Yopi Ardiansyah

Memasuki Hari ke 30 kepemimpinan Hj Erna Lisa Halaby-Wartono, euforia kemenangan masih terasa di banyak ruang publik. Namun, di balik gegap gempita pelantikan Wali Kota perempuan pertama di Banjarbaru itu, muncul narasi baru yang justru menyulut kegelisahan.

Beberapa wajah yang kerap terlihat di samping sang Wali Kota bukanlah aparatur sipil negara (ASN) atau pejabat struktural. Mereka adalah sosok-sosok di balik layar yang disebut-sebut sebagai bagian dari “tenaga ahli tidak resmi”.


Berdasarkan penelusuran, orang-orang ini sebagian besar merupakan loyalis dalam lingkaran kemenangan Lisa pada PSU 2025. Mereka berasal dari latar belakang beragam: mantan birokrat yang pernah duduk di kursi penting pemerintahan daerah, akademisi lokal, politisi, hingga mantan penyelenggara pemilu yang kini ikut dalam urusan kebijakan.


Meskipun tidak memiliki jabatan formal, mereka aktif mendampingi Lisa dalam berbagai kegiatan resmi dan pertemuan tertutup. Keberadaan mereka seolah-olah telah menjadi bagian dari struktur pemerintahan, walau tanpa kejelasan legalitas.

Salah satu narasumber yang bertugas di Pemkot Banjarbaru membocorkan rencana besar yang sedang disusun. Karena tidak bisa mengangkat tenaga ahli secara resmi (sesuai larangan Badan Kepegawaian Negara), opsi yang diambil adalah memasukkan nama-nama tersebut dalam kegiatan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) atau lembaga mitra seperti organisasi kewanitaan.

Tujuannya agar mereka tetap bisa digaji menggunakan APBD, meskipun tidak berstatus sebagai pegawai negeri.


Skema yang disebut dalam dokumen internal menunjukkan nominal yang mengejutkan, sekitar Rp 450 juta per tahun untuk membiaya tenaga ahli yang akan disisipkan dalam program Dinas Teknis serta dititipkan melalui dana kegiatan organisasi perempuan di Banjarbaru.


Sumber lain menyebut bahwa mereka juga berperan dalam menyusun narasi pemerintahan, mengatur komunikasi politik, hingga menjadi “juru bicara tidak resmi” di media sosial dan ruang publik. Beberapa bahkan diketahui aktif mengarahkan isi paparan dinas atau mendampingi Wali Kota dalam agenda yang menyangkut kebijakan strategis.
Skema semacam ini membuka ruang pertanyaan besar, apakah ini bentuk pengangkatan informal yang melanggar asas efisiensi dan transparansi anggaran?
Bukankah para ASN telah disiapkan untuk melaksanakan peran teknis dan strategis? Keberadaan para stafsus bayangan ini justru menimbulkan konflik kepentingan dan menciptakan lapis kekuasaan baru yang tidak tunduk pada mekanisme pengawasan negara.
Kepala BKN, Prof. Zudan Arif Fakhrulloh, bahkan secara tegas menyampaikan bahwa kepala daerah tidak lagi diperkenankan mengangkat staf khusus, tenaga ahli, atau tim pakar, karena beban fiskal daerah yang semakin berat akibat pemotongan dana transfer dari pusat.
Dalam forum bersama dengan Komisi II DPR yang belum lama digelar, ia menyarankan agar dana yang tersedia dialihkan untuk menyelesaikan nasib tenaga honorer menjadi PPPK, ketimbang membiayai tim informal yang tidak memiliki dasar hukum pengangkatan, namun, praktik ini tampaknya tetap bergulir, diam-diam namun sistematis.
Lingkaran ini diyakini menyusun manuver agar keberadaan mereka tetap mendapat alokasi anggaran. Metodenya beragam: ada yang dijadikan narasumber kegiatan dinas, penasehat kegiatan organisasi mitra, hingga fasilitator program non-struktural yang menggunakan nomenklatur “penguatan kapasitas kelembagaan”.
Fenomena ini bukan sekadar polemik administratif. Ia mencerminkan pola kekuasaan lama yang dibungkus dalam wajah baru, kemenangan politik dibayar dengan pembagian peran, dan ruang-ruang birokrasi dibajak untuk balas jasa.
Kini masyarakat bertanya-tanya, apakah Banjarbaru benar-benar sedang dibangun berdasarkan meritokrasi dan efisiensi anggaran? Ataukah, tanpa disadari, telah terjadi penggeseran orientasi dari pelayanan publik ke konsolidasi kekuasaan?
(Bersambung ke Bagian 2)