NEWSWAY.CO.ID, BARABAI – Perempuan itu dikenal bukan hanya karena jabatannya, tetapi karena jejak pengabdiannya.

Namanya Herlinda SH MH, Selama 4 tahun 4 bulan terakhir, ia menyusuri desa demi desa di Hulu Sungai Tengah, bukan untuk mencari nama tapi untuk menghadirkan rasa keadilan yang membumi.

Ia dikenal masyarakat sebagai Galuh Restoratif Justice, gelar yang lahir dari dedikasi luar biasa dan kerja-kerja nyata di lapangan.

Herlinda tak hanya menjalankan hukum dengan prosedur, tapi juga dengan hati.

“Jadi perempuan itu harus pintar, tapi pintar saja nggak cukup. Kita tetap nomor satu di rumah, dan harus bisa juga jadi yang terbaik di luar. Hebat itu bukan soal harta atau jabatan, tapi soal kemampuan mengelola hidup dengan ikhlas dan sabar,” ucapnya dalam wawancara bersama Newsway.co.id.
Perjalanan panjang Herlinda dalam dunia kejaksaan dimulai dari Kotabaru, sebelum kemudian dimutasi ke Tanah Bumbu sebagai bendahara.
Saat itu, daerah ini masih merupakan bagian dari Kotabaru sebelum akhirnya menjadi kabupaten sendiri.
Di Tanah Bumbu ia menjalani berbagai tugas keuangan hingga dipercaya sebagai Kaur Keuangan.
Kariernya terus menanjak, Herlinda mengikuti Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan Jaksa (PPPJ), lalu ditugaskan sebagai Jaksa Fungsional di Tanah Laut.
Setelah itu, ia dipromosikan menjadi Kepala Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun) di Balangan pada 2013.
Tak lama kemudian ia dipercaya sebagai Kasubag Pembinaan di Kandangan, lalu kembali menjalankan tugas sebagai Kasi Pidum di Kejaksaan Negeri Hulu Sungai Tengah. Di sinilah jejak pengabdiannya benar-benar terasa dan diakui masyarakat.
Herlinda melahirkan 167 rumah Restoratif Justice di HST, bukan sekadar bangunan fisik, tapi ruang hidup untuk memulihkan bukan menghukum.
“167 desa itu luas, jadi saya buat program SINTA KEDE’S ANGKA KELAS 2 (Siaga Evaluasi Seluruh Desa). Warga bisa bertanya lewat Zoom atau WhatsApp. Jadi cepat dan langsung ditangani,” jelasnya.
Ia paham betul bahwa tidak semua konflik masyarakat harus berujung di pengadilan.
Restoratif justice mengedepankan pendekatan kekeluargaan dengan tetap menjunjung rasa keadilan.
“Kadang warga cuma bingung, apakah bisa diselesaikan damai, nah, kita hadir di situ. Kita bantu mereka dengan arahan hukum yang bijak.” ungkapnya.
Dalam perjalanannya, Herlinda tak jarang harus melewati jalan rusak dan pelosok yang sulit dijangkau, namun baginya, medan bukanlah masalah.
“Kalau kita kerja dengan senang hati, nggak ada yang berat, apalagi kalau melihat warga tenang dan tersenyum setelah konflik mereka selesai,” ujarnya.
Momen paling mengharukan baginya adalah saat melihat korban dan pelaku saling memaafkan.
“Ketika dua pihak yang tadinya berseteru bisa saling memeluk dan memaafkan, itu luar biasa, saya cuma jadi jembatan. Tapi air mata mereka, pelukan mereka, itu bukti bahwa hukum dengan hati itu nyata.” lanjutnya.
Prestasi Herlinda pun terus bersinar, ia pernah menerima penghargaan sebagai pelaksana Restoratif Justice terbaik se-Indonesia, serta berbagai penghargaan lain dari Kejaksaan Tinggi dan Pemkab HST.
Meski begitu, ia tak pernah merasa itu sebagai kemenangan pribadi.
“Penghargaan itu bukan untuk saya. Itu buat tim saya, buat pimpinan saya, dan buat keluarga saya yang selalu mendukung. Tanpa mereka, saya bukan siapa-siapa,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Kini, di Hari Kartini ke-146, Herlinda bukan hanya sosok penegak hukum. Ia adalah simbol kekuatan perempuan yang lembut tapi tegas, pintar tapi tetap rendah hati, kuat tapi tetap mengayomi.
Perempuan yang membuktikan bahwa Kartini masa kini bisa hadir di tengah-tengah desa, menjahit luka masyarakat dengan ketulusan.
Galuh RJ, bukan sekadar gelar tapi gambaran tentang Kartini masa kini-perempuan tangguh, bijaksana dan hadir untuk rakyat dengan sepenuh hati.