Oleh: Dr. Muhamad Pazri, S.H., M.H.
(Direktur Utama Borneo Law Firm-Pendiri LBH Borneo Nusantara & Ketua Yayasan Edukasi Hukum Indonesia)

Peristiwa dugaan keracunan massal anak-anak sekolah di Kabupaten Banjar yang menimpa puluhan siswa penerima Program Makan Bergizi Gratis (MBG) harus menjadi alarm nasional bagi seluruh pemangku kebijakan. Program ini lahir dari niat mulia: memastikan setiap anak Indonesia mendapatkan gizi yang cukup agar tumbuh sehat dan cerdas. Namun, niat baik saja tidak cukup ia harus dibangun di atas pondasi tanggung jawab, pengawasan, dan standar keamanan pangan yang ketat.
Tragedi ini menunjukkan bahwa masih ada celah serius dalam sistem pengadaan, pengolahan, dan distribusi makanan di sekolah. Ketika anak-anak harus dirawat di rumah sakit setelah menyantap makanan yang seharusnya menyehatkan, maka kita berhadapan bukan hanya dengan masalah teknis, tetapi dengan persoalan moral dan hukum negara. Negara tidak boleh lalai terhadap hak dasar warganya untuk memperoleh pangan yang aman dan bermutu.
Kejadian di Banjar bukan sekadar kasus lokal. Ia menjadi cermin rapuhnya sistem pengawasan nasional terhadap keamanan pangan di sekolah. Pemerintah pusat dan daerah perlu melakukan evaluasi total terhadap mekanisme pelaksanaan program MBG mulai dari perencanaan anggaran, pemilihan vendor katering, hingga distribusi makanan ke setiap satuan pendidikan. Jangan sampai program strategis ini berubah menjadi ladang tender yang mengabaikan standar kesehatan anak bangsa.
Penting pula untuk melibatkan unsur masyarakat sipil, lembaga hukum, akademisi,media, dan ahli gizi dalam membentuk satuan pengawasan independen. Pengawasan yang transparan dan partisipatif akan memperkuat kepercayaan publik serta memastikan tidak ada kompromi terhadap keselamatan penerima manfaat. Selain itu, sekolah perlu dilengkapi dengan Protokol Keamanan Pangan yang mencakup standar kebersihan dapur, kualitas bahan baku, sistem deteksi dini gejala keracunan, dan penanganan cepat di lapangan.
Hukum harus hadir bukan semata-mata untuk menghukum, tetapi untuk mencegah. Namun, bila kelalaian terbukti, penegakan hukum harus berjalan tegas baik pidana maupun perdata, agar menjadi pembelajaran nasional. Perlindungan anak tidak boleh dinegosiasikan.
Di sisi lain, kita tidak boleh kehilangan harapan. Program MBG tetap penting dan strategis. Ia menyentuh keluarga berpenghasilan rendah, membantu mengatasi stunting, dan memperkuat masa depan pendidikan bangsa. Yang perlu dibenahi adalah sistemnya, bukan semangatnya.
Harapan saya, tragedi ini menjadi momentum pembenahan besar-besaran. Mari jadikan setiap suapan dari program MBG sebagai simbol kasih negara kepada anak-anaknya makanan yang bukan hanya mengenyangkan, tetapi juga menyehatkan, aman, dan bermartabat. Karena masa depan bangsa ditentukan bukan oleh banyaknya program yang diluncurkan, tetapi oleh seberapa tulus dan bertanggung jawab kita melaksanakannya.