Banjarmasin, 23 Mei. Ada tanggal-tanggal yang tak sekadar tertulis di kalender ia terpatri dalam ingatan kolektif.

Jumat, 23 Mei, adalah salah satunya. Di hari itu, langit Banjarmasin tak sekadar mendung. Ia ikut bersedih, menggulung awan duka yang menyelimuti tanah Banua.


Dua dekade telah berlalu, namun bayangan hari itu masih melekat. Tragedi sosial yang meledak bukan hanya merobohkan bangunan dan membakar pasar tapi juga mengguncang fondasi kemanusiaan.

Ketika bara kebencian membakar jalan-jalan, suara tawa menghilang dari rumah-rumah, dan kehangatan keluarga berganti dengan jerit kehilangan.

Hari itu, Banjarmasin berdarah bukan karena peperangan antar negara, melainkan karena luka di antara sesama.
Kepercayaan yang selama ini terbangun perlahan runtuh, digantikan curiga dan cemas. Jumat Kelabu menjadi saksi bisu betapa rentannya kebersamaan jika tidak dijaga dengan tulus.
Namun sejarah bukan hanya tentang luka, tapi juga tentang bangkit. Dari puing-puing perpecahan, Banjarmasin memilih berdiri. Menata ulang serpihan persaudaraan yang pernah hancur.
Anak-anak yang dahulu menyaksikan kobaran api, kini tumbuh menjadi generasi yang menyalakan pelita perdamaian. Mereka belajar dari kelamnya masa lalu, agar tidak terjerumus ke lubang yang sama.
Kini, setiap 23 Mei, kota ini menunduk sejenak. Bukan sekadar mengenang, tapi merenung. Menyusun tekad, bahwa tragedi itu tak boleh jadi bab yang terulang.
Bahwa damai bukan hadiah yang datang begitu saja ia harus diperjuangkan, dirawat, dan diwariskan.
Jumat Kelabu adalah pengingat abadi: bahwa perbedaan bukan ancaman, tapi kekuatan. Dan toleransi bukan wacana, tapi kebutuhan.
Hadi Wiranata untuk Newsway.co.id