NEWSWAY.CO.ID, JAKARTA – Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) meminta pemerintah melakukan peninjauan ulang terhadap pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang berjalan sejak awal tahun.

Alih-alih memberikan solusi perbaikan gizi dan menekan angka stunting, program tersebut justru disorot karena munculnya sejumlah kasus keracunan massal, lemahnya sistem pengawasan hingga menu makanan yang menimbulkan kontroversi.
Berdasarkan catatan Badan Gizi Nasional (BGN) per 22 September 2025, ada 4.711 kasus gangguan kesehatan akibat konsumsi makanan MBG. Dari jumlah itu, 1.281 kasus terjadi di wilayah Sumatra, 2.606 di Jawa, dan 824 kasus tersebar di Kalimantan, Sulawesi, serta kawasan Indonesia Timur.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bahkan mengungkap adanya 17 kejadian luar biasa (KLB) keracunan di 10 provinsi pada periode Januari–Mei 2025.
Rangkaian insiden keracunan ini menyasar banyak daerah. Di Garut, ratusan siswa SD mengalami mual dan muntah setelah menyantap menu MBG. Di Cianjur dan Gunungkidul, puluhan pelajar juga jatuh sakit. Kejadian serupa terjadi di Lamongan, Tasikmalaya, Nunukan, Ketapang, hingga Kupang. Kasus yang menimbulkan sorotan besar terjadi di Ketapang, Kalimantan Barat, ketika menu yang disajikan berupa ikan hiu goreng, yang dinilai tidak hanya tidak sesuai kebutuhan gizi anak, tetapi juga bermasalah dari aspek lingkungan.
Ketua Bidang Kesehatan dan Ketenagakerjaan PP KAMMI Muhammad Alfiansyah menilai, fakta ini sebagai tanda ada persoalan serius dalam implementasi MBG.
“Ribuan anak terdampak kasus keracunan. Ini bukti bahwa persiapan program belum matang, mulai dari dapur penyedia hingga distribusi. Program sebesar ini tidak boleh dijalankan secara terburu-buru,” ucapnya.
Alfiansyah mengungkapkan, penyajian menu ikan hiu menjadi contoh lemahnya regulasi serta kurasi makanan dalam program pemerintah tersebut. Ketua Umum PP KAMMI, Ahmad Jundi Khalifatullah, menekankan perlunya evaluasi menyeluruh program ini.
“Kami mendukung agenda nasional untuk perbaikan gizi. Tetapi bila pelaksanaannya justru menimbulkan kerugian, maka penghentian sementara adalah pilihan logis. Jangan sampai ambisi politik mengorbankan generasi muda,” tegasnya.
KAMMI merekomendasikan agar pelaksanaan MBG diprioritaskan terlebih dahulu di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) serta daerah dengan angka stunting yang masih tinggi.
Usulan yang mereka ajukan mencakup: fokus 1–2 tahun awal di daerah rawan stunting, menunda implementasi di daerah dengan prevalensi rendah, memperkuat peran BGN hingga level daerah, dan melakukan audit independen terhadap kualitas pangan serta transparansi anggaran.
Organisasi mahasiswa ini menegaskan, program MBG seharusnya diposisikan sebagai investasi jangka panjang untuk kesehatan generasi Indonesia, bukan menjadi sumber masalah baru.
“Pembangunan SDM harus dijalankan dengan penuh kehati-hatian. MBG mestinya hadir sebagai solusi berkelanjutan, bukan proyek sesaat yang menimbulkan korban,” tutup Jundi.(nw)