Karena Engkau Perempuan: Analisis Putusan Nomor 11-K/PM.I-06/AL/IV/2025 dalam Konsep Femisida1

by
11 Agustus 2025
Lena Hanifah, S.H., LL.M., Ph.D (Foto : Doc/newsway.co.id)

Oleh: Lena Hanifah, S.H., LL.M., Ph.D

~ Advertisements ~

Femisida adalah kekerasan berujung kematian terhadap perempuan dikarenakan jenis kelaminnya. Komnas Perempuan mencatat bahwa sepanjang tahun 2020 terdapat 95 kasus dengan indikasi femisida yang kuat, 237 kasus di tahun 2021, 307 kasus di tahun 2022, dan 159 kasus di tahun 2023.

~ Advertisements ~

Secara khusus untuk perkara Jumran, Komnas Perempuan secara jelas mengkategorikan pembunuhan tersebut sebagai femisida, sebagai akibat dari eskalasi kekerasan berbasis gender yang sebelumnya dialami oleh korban.

~ Advertisements ~

Artikel ini menganalisis Putusan Pengadilan Militer I-06 Banjarmasin Nomor 11-K/PM.I-06/AL/IV/2025 melalui kerangka hukum feminis dan konsep femisida, Analisis menunjukkan adanya kecenderungan peradilan mereduksi kekerasan berbasis gender menjadi sekadar tindak pidana biasa, tanpa memperhitungkan konteks relasi kuasa yang patriarkal.

~ Advertisements ~

Femisida sebagai Kekerasan Berbasis Gender
Putusan Pengadilan Militer I-06 Banjarmasin Nomor 11-K/PM.I-06/AL/IV/2025 menjatuhkan pidana penjara seumur hidup terhadap Kelasi Jumran (Terdakwa), prajurit TNI AL, atas tindak pidana pembunuhan berencana terhadap Juwita (Korban). Kasus ini bermula dari perkenalan keduanya di media sosial (TikTok) pada November 2024, yang berlanjut ke hubungan pribadi termasuk pertemuan langsung dan hubungan seksual.

~ Advertisements ~

Juwita (23 tahun) adalah perempuan sipil yang dalam peristiwa ini meninggal dunia di tangan Terdakwa pada Maret 2025, dengan modus pembunuhan yang direncanakan dan disamarkan sebagai kecelakaan lalu lintas.

~ Advertisements ~

Dari perspektif hukum feminis, kasus ini memiliki karakteristik femisida, yakni pembunuhan terhadap perempuan yang berlatarbelakang kebencian berbasis gender, dominasi, atau anggapan bahwa perempuan adalah milik pelaku yang harus selalu taat dan patuh serta sesuai dengan keinginan pelaku.

Femisida sendiri adalah krisis yang tidak hanya dihadapi oleh Indonesia, akan tetapi merupakan permasalahan global. Data menunjukkan bahwa di tahun 2017, sebanyak 20.000 perempuan di Asia telah dibunuh oleh pasangan atau anggota keluarga, dan 89.000 secara global di tahun 2022, yang berarti, 55% pembunuhan terhadap perempuan adalah dilakukan oleh pasangan (pacar/suami), atau anggota keluarga lainnya (ayah, ibu, paman, saudara laki-laki).

Istilah femisida (dalam Bahasa Inggris: Femicide atau Feminicide) pertama kali dicetuskan oleh Diana Russel di tahun 1976 untuk mengangkat isu-isu pembunuhan yang dilakukan terhadap perempuan, hanya karena korban tersebut adalah perempuan.

PBB sebagaimana dikutip oleh Komnas Perempuan mendefinisikan femisida sebagai bentuk kekerasan berbasis gender paling ekstrem, di mana pembunuhan perempuan terjadi karena relasi kuasa patriarkis, misalnya pelaku terdorong oleh dendam, hasrat menaklukkan, atau pandangan bahwa korban dapat diperlakukan sesuka hati.

Dengan demikian, maka femisida harus dimaknai berbeda dengan “pembunuhan biasa” karena mengandung aspek ketidaksetaraan gender, dominasi, agresi, atau opresi terhadap perempuan. Proses hukum harusnya mampu mengenai ciri-ciri femisida, seperti pola kekerasan berbasis gender, motif pelaku terkait relasi kuasa laki-laki-perempuan, dan konteks penindasan terhadap korban.

Untuk itu, draft singkat ini akan mengkaji secara sederhana putusan Pengadilan Militer I-06 Banjarmasin dalam kasus Jumran – Juwita melalui kerangka pikir femisida. Dengan fokus kepada: (1) Indikasi kekerasan berbasis gender (pola kontrol, dominasi, ketimpangan relasi) dalam fakta perkara, serta pertimbangan majelis hakim atas aspek-aspek tersebut, dan (2) Kaitan putusan ini dengan kerangka hukum nasional terkait perlindungan perempuan dari kekerasan berbasis gender.

Analisa Kasus

Relasi antara Jumran dan Juwita menunjukkan dinamika gender yang timpang dan relevan dalam kerangka femisida. Terdakwa Jumran adalah laki-laki, anggota militer (TNI AL) berusia 24 tahun, yang dari segi fisik dan posisi sosial memiliki kekuatan dan otoritas lebih besar daripada korban. Ia terlatih dalam kemampuan militer dan bela diri, sebagaimana yang ditunjukkan bahwa yangbersangkutan tercatat rutin latihan MMA, dan memiliki akses ke sumber daya serta jaringan (misal: kemampuan memanipulasi alibi tugas dinas, bantuan rekan sesama prajurit).

Sementara Korban Juwita (23 tahun) adalah perempuan warga sipil tanpa posisi kuasa serupa. Relasi ini tidak sekadar relasi personal, tetapi tercakup unsur gender: laki-laki dengan privilese institusional vs perempuan muda yang rentan dalam konteks hubungan intim pranikah.
Dalam fakta persidangan terungkap bahwa hubungan mereka dimulai atas inisiatif Terdakwa dan berkembang dengan kedekatan pribadi.

Juwita merupakan pihak yang lebih menginginkan pengakuan hubungan dan menuntut pertanggungjawaban ketika hubungan tersebut melibatkan hubungan seksual. Pasca pertemuan dan hubungan intim pertama, korban, melalui keluarganya, meminta Terdakwa bertanggung jawab, yang secara budaya dimaknai dengan pernikahan, apalagi diduga korban telah kehilangan keperawanannya akibat hubungan tersebut. Tuntutan ini mencerminkan upaya korban dan keluarganya untuk mendapatkan hak
dan perlindungan bagi Juwita sebagai perempuan yang rentan stigmatisasi mengingat norma patriarkal tentang keperawanan dan kehormatan keluarga yang diletakkan di bahu perempuan.

Ketimpangan kuasa antara pelaku dan korban juga terlihat ketika korban bersama keluarganya mencoba menggunakan norma tersebut untuk menuntut tanggung jawab, tetapi Terdakwa sebagai laki-laki dengan posisi kuat berusaha mengendalikan situasi sesuai kehendaknya. Bahkan ketika mutasi, ia tidak memberitahu korban, seakan mengabaikan hak- hak korban dan menghindari kewajiban.

Ketika keluarga korban kembali mendesak (melalui chat dan bukti screenshot janji Terdakwa untuk bertanggung jawab jika korban hamil), Terdakwa merasa “dijebak” oleh korban. Ia menyalahkan korban karena merekam atau menyimpan bukti (video di hotel, dsb.) dan marah dengan tudingan bahwa kepindahannya ke Balikpapan adalah upaya lari dari tanggung jawab.

Reaksi Terdakwa yang berkata kasar kepada korban “sengaja menjebak” dirinya mengindikasikan posisi dominan: alih-alih mengakui tanggung jawab, ia menuduh korban mengancam kebebasan dan reputasinya.
Dalam proses hukum, relasi kuasa gender ini kurang diangkat secara eksplisit. Pengadilan memeriksa fakta-fakta tersebut terutama sebagai latar belakang motif tindak pidana. Majelis hakim mengakui dalam narasi fakta bahwa motif pembunuhan terkait tekanan pada Terdakwa untuk menikahi korban dan ketidaksediaannya memenuhi tuntutan itu.

Disebutkan bahwa “motif pembunuhan Terdakwa terhadap korban tidak lepas dari dinamika kekerasan seksual yang dialami korban pertama kali. Di mana Terdakwa merasa terancam dan enggan mempertanggungjawabkan perbuatannya sehingga memilih untuk merencanakan pembunuhan”.

Pernyataan ini sejatinya sudah menyinggung aspek gender di mana Terdakwa merasa “terancam” oleh konsekuensi hubungan seksual (yang dalam budaya patriarkal biasanya lebih merugikan pihak perempuan), dan ia menolak menyerahkan kontrol atas keputusan pernikahan sehingga menggunakan kekerasan ekstrem.

Namun, pembacaan relasi gender tersebut tidak dijadikan analisis mendalam dalam pertimbangan putusan. Majelis hakim tidak secara eksplisit menyebut adanya ketimpangan gender atau posisi subordinat korban. Tidak ada referensi pada misalnya kerentanan korban sebagai perempuan muda atau bagaimana penolakan Terdakwa untuk menghormati hak korban berkontribusi pada kejahatan. Relasi kuasa Jumran-Juwita hanya tampak implisit lewat kronologi.

Proses hukum cenderung menanganinya sebagai interaksi personal biasa yang berujung pidana, bukan sebagai manifestasi struktur patriarkal. Dengan kata lain, hubungan gender di antara mereka kurang (atau tidak) dibaca dalam perspektif kekerasan berbasis gender oleh pengadilan, melainkan lebih dilihat sebagai motif individual (“enggan menikah sehingga membunuh”) ketimbang gejala dominasi laki-laki atas perempuan dalam konteks sosial.
Akan tetapi, pertanyaannya: Apakah pengadilan mengakui karakteristik femisida secara substansial, ataukah hanya memprosesnya sebagai kasus pembunuhan biasa (walau berencana)?

Dari isi pertimbangan putusan, tidak terlihat adanya penamaan atau analisis khusus bahwa ini adalah kekerasan terhadap perempuan. Majelis hakim tidak menggunakan istilah apapun yang merujuk pada gender atau diskriminasi. Karakteristik femisida (misalnya: pembunuhan terjadi dalam hubungan intim, didahului tuntutan korban akan haknya, pelaku termotivasi menghilangkan kontrol korban atas hidupnya, bahkan pelaksanaan pembunuhan pun dilakukan setelah berhubungan intim) tidak diulas.

Putusan menguraikan motif secara datar: Terdakwa enggan menikah karena merasa terjebak, lalu merencanakan pembunuhan. Namun, tidak ada penekanan bahwa motif tersebut lahir dari konstruksi sosial yang
menempatkan perempuan dalam posisi lemah (korban hanya meminta hak, malah dianggap penghambat lalu dibunuh).

Begitu juga terkait dengan adanya dugaan tindak pidana kekerasan seksual. Oditur Militer sendiri mencatat adanya pengakuan korban mengenai dugaan kekerasan seksual di Desember 2024 – Januari 2025 dan mendalilkan bahwa jika unsur itu terbukti, Terdakwa semestinya dijerat juga dengan pasal UU TPKS untuk keadilan yang menyeluruh.9 Ini berarti sebenarnya disadari adanya aspek kekerasan seksual, namun terkendala pembuktian (waktu yang sudah lama).

Tidak ada informasi bahwa visum menemukan tanda perkosaan; meski ada imbauan untuk pemeriksaan lebih lanjut, tampaknya fokus kasus tetap pada pembunuhan. Dalam putusan akhir, Terdakwa tidak dijerat pasal TPKS apapun, hanya Pasal 340 KUHP.

Ini mencerminkan bahwa proses hukum tidak atau belum mampu mengintegrasikan tindak pidana seksual dan pembunuhan sekaligus dalam satu rangkaian femisida. Padahal, standar perlindungan korban menghendaki agar seluruh spektrum kejahatan diakomodasi. Misalnya, apabila Juwita sebelum dibunuh diperkosa atau dilecehkan, idealnya hal itu dicatat dan mempengaruhi hukuman.

UU TPKS memungkinkan penjeratan berlapis (kekerasan seksual + pembunuhan). Namun, fokus peradilan militer ini semata pada pembunuhan. Banyak kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang berujung pembunuhan, tetapi aspek seksualnya terabaikan setelah korban meninggal (karena prioritas pembuktian pada pembunuhannya).

Dengan demikian, norma hukum nasional walau sudah berkembang (UU TPKS) belum efektif diterapkan di konteks femisida ini. Dari perspektif korban, ini menyisakan celah keadilan: misal, perbuatan memperdaya korban untuk hubungan seks dengan janji akan dinikahi secara sah tidak dipertanggungjawabkan terpisah.
Meskipun demikian, ada hal yang patut diapresiasi dari putyusan ini. Yakni, tidak ada faktor meringankan sama sekali bagi Terdakwa.

Majelis menyatakan “Keadaan yang meringankan: Nihil”. Ini artinya dalih-dalih yang mungkin diajukan (seperti stres karena diancam keluarga korban, atau belum pernah dihukum, usia muda, dsb.) tidak diterima. Secara implisit, ini berarti hakim tidak menganggap “tekanan untuk menikah” sebagai alasan yang meringankan. Dalam perspektif feminis, itu hal baik. Hal ini menyiratkan makna jelas bahwa pengadilan tidak bersimpati pada narasi bahwa pelaku patut dikasihani karena “terpaksa membunuh akibat korban menekan menikah”.

Sering kali, aparat bias patriarkal bisa saja menganggap korban “juga bersalah” karena memaksa pelaku, namun di sini tidak demikian. Dengan vonis seumur hidup dan nihil keringanan, pengadilan militer mengirim pesan bahwa apapun alasannya, membunuh perempuan (dalam hal ini adalah relasi intim/pacar) tidak bisa dibenarkan atau dimaklumi.

Penutup

Prinsip hukum nasional sebenarnya mengakui bahwa perempuan dalam relasi intim butuh perlindungan, namun perlindungan itu belum menjangkau hubungan non-formal. Kekerasan dalam relasi personal hanya diakui dalam hal hubungan suami istri, hubungan keluarga atau relasi dalam rumah tangga. Juwita sebagai pacar tidak mendapat perlindungan hukum yang sama seperti istri, meski ancaman kekerasannya serupa, dan ia menjadi korban femisida. Sebagai negara pihak dalam CEDAW, Indonesia berkewajiban menangani femisida secara menyeluruh, tidak hanya melalui penghukuman pelaku, tetapi juga dengan mengakui struktur gender yang melatarbelakanginya. Dalam kasus ini, meski pelaku dihukum berat, dimensi hak asasi perempuan belum terurai, termasuk analisis pencegahan, perlindungan, dan respons yang sensitif gender. Putusan belum menyentuh aspek diskriminasi dan tanggung jawab negara sebagaimana diamanatkan CEDAW. Kasus ini seharusnya mendorong negara, termasuk institusi seperti TNI, untuk mengembangkan kebijakan edukatif dan pencegahan berbasis gender agar femisida tidak terulang. Sudah saatnya sistem hukum, termasuk peradilan militer, mengadopsi perspektif keadilan substantif yang memperhitungkan konteks gender dalam setiap putusannya.

Catatan : Artikel ini disampaikan pada acara FGD Nasional yang bertajuk Esaminasi Putusan Kasus Juwita di Uniska MAB pada Sabtu (9/08/2025)

Daftar Pustaka
Drugs, United Nations Office on, and Crime. Gender-Related Killings of Women and Girls (Femicide/Feminicide).

United Nations, 2023.
doi:https://doi.org/10.18356/9789213587072. https://www.un- ilibrary.org/content/books/9789213587072.

Fitz-Gibbon, K., and S. Walklate. Femicide: Problems, Possibilities, and Prevention. Emerald Publishing Limited, 2025.
https://books.google.co.id/books?id=pcNyEQAAQBAJ.

Perempuan, Komnas. “Pernyataan Sikap Komnas Perempuan Merespons Femisida Terhadap Jurnalis Perempuan “Indonesia Darurat Femisida: Mendorong Pembentukan Mekanisme Pengawasan Femisida (Femicide Watch)”.” news release, 2025.

“Tuntutan Pembaruan Hukum Dan Kebijakan Menyikapi Ancaman.” news release, 2020.
“Breaking the Silence: Combating Feminicide and Gender-Based Violence in Indonesia “, 2024, accessed 5 Agustus 2025, 2025, https://equalmeasures2030.org/blogs/breaking- the-silence-combating-feminicide-and-gender-based-violence-in-indonesia/.

Tinggalkan Balasan

Latest from Blog