NEWSWAY.CO.ID, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia mencatat sejarah baru dalam penegakan demokrasi dan perlindungan hak sipil. Dalam putusan penting yang diambil secara cepat, MK mengabulkan seluruhnya permohonan uji materi terhadap Pasal 128 huruf k Undang-Undang Pilkada. Norma yang dianggap multitafsir dan rawan disalahgunakan ini kini resmi dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat.

Permohonan ini diajukan oleh Dewan Pimpinan Daerah Lembaga Pengawasan Reformasi Indonesia (DPD-LPRI) Kalimantan Selatan, yang dipimpin oleh Syarifah Hayana Binti Said Muhammad Alaydrus. MK bahkan memutuskan perkara ini tanpa mendengar keterangan DPR maupun Pemerintah dalam sidang pemeriksaan, menunjukkan urgensi dan kekuatan argumen konstitusional pemohon.


“Ini adalah kemenangan besar bagi demokrasi partisipatoris. Lembaga pemantau bukan hanya elemen pelengkap, tapi bagian inti dalam sistem demokrasi yang dijamin konstitusi,” tegas MK dalam pertimbangan hukumnya.
Norma “Keranjang Sampah” yang Memakan Korban

Pasal 128 huruf k UU Pilkada sebelumnya digunakan untuk menjerat Syarifah Hayana dalam kasus yang dinilai sebagai bentuk kriminalisasi terhadap kerja pemantauan pemilu. Dalam Putusan PN Banjarbaru Nomor 153/Pid.Sus/2025/PN.Bjb, Syarifah divonis bersalah karena dianggap melakukan “kegiatan lain yang dilarang” setelah DPD-LPRI melakukan penghitungan Formulir C.1 pada Pemungutan Suara Ulang Pilkada Banjarbaru. Data tersebut kemudian disebarkan oleh pihak tidak bertanggung jawab dengan narasi keliru “quick count”.

“Jika pasal ini terus berlaku, maka siapa pun yang menjalankan tugas pemantauan berisiko dikriminalisasi hanya karena perbedaan tafsir,” ujar Dr Muhamad Pazri, kuasa hukum Pemohon.
Putusan MK ini bukan hanya membatalkan pasal bermasalah, tapi juga memberi angin segar bagi proses banding atas putusan PN Banjarbaru. Kisworo Dwi Cahyono, anggota tim kuasa hukum yang juga mantan Direktur Eksekutif WALHI Kalsel, menyebut bahwa Pengadilan Tinggi Banjarmasin wajib mempertimbangkan putusan MK ini.
“Dengan dihapusnya pasal tersebut, maka dakwaan terhadap Syarifah otomatis kehilangan dasar hukumnya,” tegas Kisworo.
Denny Indrayana, anggota Tim Hukum Hanyar Banjarbaru, mengapresiasi langkah cepat dan independen MK dalam membela konstitusi dan hak warga negara. “Terima kasih kepada MK dan seluruh pihak yang telah mendukung perjuangan ini. Semoga ini menjadi awal dari penguatan demokrasi yang lebih substansial,” ujarnya.
Dengan putusan ini, MK menegaskan pentingnya kejelasan norma hukum dan menjamin ruang aman bagi lembaga pemantau dalam menjalankan peran pengawasan. DPD-LPRI Kalsel menjadi korban pertama dari pasal ini dan diharapkan, yang terakhir.