Lisa Halaby dan Momemtum, Apakah Kepedulian atau Kewajiban?

by
8 September 2025
Isuur Loeweng Suroto, Pimpinan Newsway.co.id. (Foto : Doc Pribadi/newsway.co.id)

Oleh : Isuur Loeweng Suroto

Pagi yang cukup cerah, setelah sehari sebelumnya Kota Banjarbaru diguyur hujan hampir seharian, lalu malamnya hiruk pikuk persoalan gerhana bulan total menjadi menu yang cukup menarik bagi masyarakat.

Seraya menikmati teh manis di teras depan rumah bersubsidi, sesambil mendengarkan kicau burung jari-jari saya menulis, seraya mengingat apa yang paling menonjol dilakukan Hj Erna Lisa Halaby setelah dilantik meniadi Wali Kota Banjarbaru.

Semenjak menjabat sebagai Wali Kota Banjarbaru, memang Hj Erna Lisa Halaby menunjukkan dirinya sebagai pemimpin dengan tingkat sensitivitas sosial yang menonjol. Hampir di setiap momentum, ia hadir di tengah masyarakat yang sedang mengalami kesusahan. Dari kunjungannya ke rumah seorang veteran di Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia, kepeduliannya pada warga penyandang disabilitas di Guntung Manggis, hingga respon cepatnya pada musibah kebakaran di Liang Anggang maupun Landasan Ulin Selatan—semuanya membentuk narasi tentang seorang pemimpin yang tidak berjarak dengan rakyatnya.

Sebab hal lain, dari segi pembangunan infrastruktur dan sosial pernah dilakukan oleh pemimpin-pemimpin sebelumnya.

Namun, pertanyaan yang tak terelakkan muncul: apakah semua itu lahir murni dari empati atau sekadar menjalankan kewajiban formal seorang kepala daerah?

Pertanyaan ini penting, sebab sejarah politik lokal maupun nasional sering mencatat bahwa praktik “kepedulian” kerap direduksi menjadi bagian dari pencitraan. Publik tentu masih mengingat bagaimana banyak pejabat yang begitu rajin mendatangi warga menjelang pemilu, tetapi kemudian menghilang setelah kursi jabatan diraih.

Dalam konteks inilah, Lisa Halaby menghadirkan warna yang berbeda. Sebagai wali kota perempuan pertama di Banjarbaru sejak berdirinya kota ini pada 1999, ia membawa perspektif kepemimpinan yang mengedepankan empati sebagai kekuatan moral. Kehadirannya dalam momen-momen kesedihan masyarakat bukan sekadar seremoni, tetapi lebih menyerupai upaya membangun jembatan emosional antara pemerintah dan warga.

Fenomena ini bisa dibaca melalui dua perspektif. Pertama, kepedulian personal yang lahir dari kesadaran bahwa seorang pemimpin juga bagian dari komunitas yang ia layani. Kedua, kewajiban institusional, di mana seorang kepala daerah memang dituntut untuk hadir dalam setiap problem warga sebagai wujud tanggung jawab jabatan. Ketika keduanya bertemu dalam diri seorang pemimpin, maka yang terbangun adalah kepemimpinan yang otentik: kepedulian yang terstruktur.

Kritik tentu tetap relevan. Kehadiran seorang wali kota di tengah musibah memang menyentuh, tetapi masyarakat menunggu langkah lebih jauh: solusi sistematis yang mencegah peristiwa serupa berulang. Mengunjungi korban kebakaran adalah penting, tetapi lebih penting lagi memperkuat tata kelola lingkungan, sistem mitigasi, dan perlindungan sosial.

Momentum ini menjadi semakin penting ketika dikaitkan dengan 100 hari kerja pertama yang telah dijalani Lisa Halaby. Pada fase awal ini, publik melihat kepemimpinan yang mencoba hadir bukan hanya dalam bentuk program teknis, tetapi juga dalam sentuhan kemanusiaan. Namun, kepemimpinan tidak boleh berhenti pada 100 hari pertama. Tantangan yang lebih besar justru menanti: bagaimana menjaga konsistensi kepedulian itu hingga akhir masa jabatan.

Di sinilah relevansi kepemimpinan transformasional menemukan maknanya. Pemimpin transformasional tidak berhenti pada gebrakan awal, melainkan menanamkan nilai, mengubah budaya birokrasi, dan membangun sistem yang tetap bekerja meski sang pemimpin kelak tidak lagi menjabat. Begitu pula dengan kerangka pelayanan publik: empati yang ditunjukkan seorang kepala daerah harus terinstitusionalisasi agar tidak bergantung pada figur semata.

Banjarbaru kini memiliki harapan baru: seorang wali kota yang mau hadir, mendengar, dan merasakan. Tetapi publik juga berhak menagih bahwa kepedulian itu diterjemahkan dalam regulasi, program, dan langkah strategis yang membawa perubahan nyata hingga akhir masa kepemimpinannya.

Pada akhirnya, kepemimpinan yang ideal tidak berhenti pada momentum, melainkan teruji pada konsistensi. Dari 100 hari menuju 5 tahun masa jabatan, Lisa Halaby ditantang untuk terus menjembatani kepedulian dan kewajiban. Jika jembatan itu mampu ia bangun dengan kokoh, maka ia bukan hanya tercatat sebagai wali kota perempuan pertama Banjarbaru, tetapi juga sebagai pemimpin yang meninggalkan warisan empati dan kebijakan yang menyejarah.

Tinggalkan Balasan

Latest from Blog