Oleh : Kuntari

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah salah satu kebijakan paling ambisius yang dicanangkan pemerintah saat ini. Tujuannya mulia, memperbaiki status gizi anak-anak sekolah di Indonesia.
Dalam kerangka besar pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia, program ini layak diapresiasi. Sebab tak hanya menjawab persoalan gizi kronis, MBG juga berpotensi menggerakkan ekonomi lokal, andai pengadaan bahan makanan dan pengolahan menunya melibatkan petani serta UMKM sekitar sekolah.
Namun, pelaksanaan program MBG justru menghadapi masalah serius, baik teknis pelaksanaan maupun tata kelola kelembagaan. Belum ada regulasi setingkat Peraturan Presiden yang menjadi payung legal kuat untuk program ini. Ketiadaan regulasi tersebut menyebabkan lemahnya koordinasi antarinstansi, tidak jelasnya alur tanggung jawab, dan terbukanya celah penyimpangan anggaran.
Terbaru, kita menyaksikan puluhan hingga ratusan siswa di berbagai daerah mengalami keracunan setelah mengonsumsi makanan dari program MBG. Peristiwa tersebut menjadi peringatan keras bagi pemerintah.
Persoalannya bukan sekadar kelalaian operasional, melainkan tidak adanya standar mutu juga protokol keamanan pangan yang jelas dan mengikat. Padahal, makanan untuk anak-anak seharusnya melalui proses pengawasan ketat, baik dari sisi higienitas, nilai gizi, hingga distribusi. Sayangnya, implementasi MBG cenderung dilakukan secara terburu-buru, seragam, dan belum memperhitungkan kesiapan daerah yang berbeda-beda.
Sejumlah pakar gizi dan keamanan pangan, seperti IPB dan UGM telah menyerukan pentingnya pendekatan risk-based inspection serta pelibatan tenaga ahli gizi dalam menyusun menu. Proses masak-memasak juga seharusnya dilakukan di dapur yang memenuhi syarat sanitasi, bukan dapur darurat yang berisiko tinggi.
Di sisi lain, maraknya insiden keracunan juga memunculkan dugaan adanya unsur sabotase dalam pelaksanaan program ini. Insiden tersebut bisa jadi bukan semata akibat kelalaian teknis, mengingat program MBG sarat dengan dinamika politik dan ekonomi. Jika benar ada upaya sabotase, baik dari aktor bisnis yang merasa tersingkir atau pihak lain yang punya kepentingan politis, maka ini ancaman serius bagi keselamatan anak-anak dan stabilitas sosial kita.
Pemerintah tak boleh menutup mata. Investigasi yang menyeluruh, transparan, dan melibatkan lembaga independen harus dilakukan. Penegakan hukum diperlukan, bukan hanya untuk menghukum pelaku, tetapi juga memulihkan kepercayaan publik terhadap program MBG.
Masalah kian kompleks ketika indikator keberhasilan program pun belum dijelaskan secara terbuka. Apakah yang diukur adalah penurunan stunting? Peningkatan status gizi? Efektivitas biaya? Atau kepuasan peserta? Tanpa indikator yang jelas, publik sulit menilai apakah program ini efektif atau hanya menjadi proyek politis menjelang Pemilu.
Pemerintah perlu mengambil langkah serius dan berani. Evaluasi menyeluruh harus dilakukan, termasuk kemungkinan penghentian sementara program di daerah yang belum siap secara sanitasi dan logistik. Ini bukan berarti menggagalkan niat baik, tetapi memastikan bahwa pelaksanaan program tidak membahayakan generasi yang ingin diselamatkan. Akan lebih bijak bila MBG dijalankan secara bertahap, dimulai dari daerah yang benar-benar siap, sambil membangun sistem pendukung yang kokoh.
Transparansi juga menjadi kunci. Pemerintah perlu membuka data pelaksanaan, laporan pengadaan, hasil uji laboratorium makanan, serta melibatkan masyarakat sipil dalam pengawasan. Dukungan publik tidak akan sulit diraih jika prosesnya akuntabel dan komunikasinya jujur.
Masyarakat tentu berharap program MBG bisa berhasil dan membawa manfaat nyata bagi anak-anak Indonesia. Namun, keberhasilan kebijakan publik tidak diukur dari besarnya anggaran atau jumlah penerima manfaat semata. Ia ditentukan oleh kualitas pelaksanaan, keberlanjutan program, dan integritas tata kelola.
Jangan sampai niat baik berubah menjadi petaka. Lebih buruk lagi, jangan sampai anak-anak kita menjadi korban dari kebijakan yang dijalankan tergesa-gesa, atau bahkan dari skenario sabotase yang tidak pernah ditangani secara serius.