Pemangkasan Dana Transfer ke Daerah 2026 Dipertanyakan: Bagaimana Strategi Banjarbaru?

by
2 Oktober 2025

NEWSWAY.CO.ID — Tahun 2026 menghadirkan tekanan fiskal yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi pemerintah daerah di seluruh Indonesia. Defisit tinggi di tingkat pusat, beban subsidi energi, dan kebutuhan membiayai program prioritas nasional membuat aliran Dana Transfer ke Daerah (TKD) berkurang signifikan. Bagi kota-kota yang masih sangat bergantung pada transfer pusat, termasuk Banjarbaru, situasi ini bukan sekadar angka di atas kertas. Setiap rupiah APBD kini harus direncanakan dengan cermat agar layanan publik tetap berjalan, pertumbuhan ekonomi lokal terjaga, dan manfaat pembangunan benar-benar dirasakan masyarakat.

~ Advertisements ~

Banjarbaru menjadi contoh nyata dari tekanan ini. Pemangkasan TKD memaksa kota menata ulang prioritas belanja, mengefisienkan pengeluaran, dan memaksimalkan setiap sumber daya yang tersedia. Sektor-sektor yang selama ini bergantung pada aliran pusat—seperti pembangunan infrastruktur, fasilitas pendidikan dan kesehatan, serta tunjangan pegawai—merasakan tekanan nyata. Tantangan ini memacu pemerintah kota untuk berpikir kreatif: memperkuat Pendapatan Asli Daerah melalui optimalisasi pajak, retribusi, dan inovasi kerjasama dengan pihak swasta; mengatur ulang alokasi anggaran; serta memastikan setiap program memiliki dampak sosial dan ekonomi yang nyata.

Dengan strategi ini, Banjarbaru tidak hanya menghadapi pengurangan dana secara pasif, tetapi mengubah keterbatasan menjadi kesempatan untuk memperkuat kapasitas keuangan daerah dan kemandirian ekonomi. Setiap keputusan belanja diarahkan untuk menjaga kesejahteraan masyarakat, memperkuat ekonomi lokal, dan menyiapkan kota menghadapi masa depan yang berkelanjutan. Dalam konteks ini, Banjarbaru menunjukkan bahwa ketahanan fiskal dan pembangunan berkelanjutan dapat dicapai, bahkan ketika aliran dana pusat menyusut, selama ada perencanaan yang cermat, prioritas yang jelas, dan inovasi yang berani.

Total TKDD yang diterima Banjarbaru pada 2026 diproyeksikan turun sebesar Rp.616,15 atau berkurang 36,22 persen atau sekitar Rp349,16 miliar dibandingkan 2025. Penurunan ini terutama berasal dari Dana Transfer Umum, yang merosot 38,26 persen menjadi Rp494,17 miliar, di mana Dana Bagi Hasil (DBH) turun paling ekstrem—71,98 persen menjadi hanya Rp89,54 miliar—akibat fluktuasi penerimaan pusat, terutama dari sektor minerba dan pajak. Dana Alokasi Umum (DAU) juga menyusut 15,84 persen menjadi Rp404,63 miliar.

Di sisi lain, Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik yang biasanya menjadi tulang punggung pembangunan infrastruktur kota—jalan, drainase, sekolah, rumah sakit, dan fasilitas publik—nyaris hilang, merosot 91,38 persen menjadi Rp3,40 miliar. DAK Nonfisik relatif stabil, hanya turun 1,04 persen menjadi Rp118,59 miliar, karena tetap difokuskan pada layanan dasar pendidikan dan kesehatan. Dana Insentif Daerah (DID) juga tidak lagi diberikan, turun 100 persen dari Rp6,46 miliar menjadi nol, seiring perubahan mekanisme pemberian insentif berbasis kinerja tertentu.

Secara keseluruhan, kombinasi penurunan DBH, DAK Fisik, dan DID menimbulkan tekanan yang nyata bagi Banjarbaru. Kota ini kini harus merancang strategi anggaran yang lebih efisien, mengutamakan prioritas layanan dasar, dan menahan ambisi pembangunan fisik besar. Jalan, sekolah, fasilitas kesehatan, serta ruang publik yang selama ini menopang kualitas hidup warga harus direncanakan dengan ketelitian dan kecermatan ekstra, agar setiap rupiah APBD menghasilkan manfaat yang maksimal.

Pergeseran belanja ke Kementerian/Lembaga (K/L) pada APBN 2026 menegaskan arah baru kebijakan nasional. Pemerintah pusat mengalihkan sebagian besar alokasi TKD ke program prioritas yang langsung bersentuhan dengan masyarakat, seperti Koperasi Merah Putih, Program Makan Bergizi Gratis, dan Program Indonesia Pintar (PIP). Meski manfaat program ini dirasakan di daerah, secara kas daerah TKDD terlihat menurun. Kebijakan ini menunjukkan upaya negara hadir secara langsung melalui program yang menyentuh kehidupan rakyat, sekaligus menjadi tantangan bagi daerah seperti Banjarbaru yang masih sangat bergantung pada transfer pusat.

Penurunan TKDD menjadi sinyal penting bagi Banjarbaru untuk memperkuat Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan mengurangi ketergantungan pada aliran dana pusat. Minimnya pemahaman terhadap formula DBH dan kurangnya transparansi berpotensi menimbulkan salah persepsi, bahkan sengketa antara pusat dan daerah terkait alokasi. Dampaknya langsung terasa pada keuangan daerah : program pembangunan yang bergantung pada DAK Fisik, tunjangan ASN dari DAU, dan berbagai belanja operasional harus mencari alternatif pembiayaan. Efisiensi belanja, kemitraan dengan pihak swasta, dan inovasi menjadi strategi utama agar pembangunan tetap berkelanjutan dan manfaatnya dapat dirasakan masyarakat.

Wali Kota Banjarbaru Hj. Erna Lisa Halaby tampaknya telah membaca dengan cermat dinamika yang terjadi  dan implikasinya bagi kota. Alih-alih terjebak pada proyek infrastruktur besar yang mahal dan berisiko politisasi, ia memilih fokus pada program yang langsung memberikan dampak nyata bagi masyarakat. Pendekatan ini diwujudkan melalui empat pilar pembangunan strategis: Banjarbaru Charity, yang menjamin perlindungan sosial bagi kelompok rentan; Business Incubator, yang memperkuat UMKM dan ekonomi lokal agar lebih tangguh terhadap guncangan fiskal; Best Quality Government, yang meningkatkan kualitas layanan publik melalui efisiensi dan transformasi digital; serta Priority Area, yang menekankan pembangunan lingkungan sehat dan fasilitas publik yang mendukung kualitas hidup.

Langkah-langkah konkret, seperti penundaan pembangunan rumah dinas di lahan eks Disdukcapil pada 2025, pemberian insentif lebih besar bagi penggali kubur, penjaga makam, RT/RW, dan bantuan peralatan rukun kematian, mencerminkan prioritas nyata terhadap kesejahteraan masyarakat. Dari perspektif ekonomi, strategi ini bukan hanya efisiensi belanja, tetapi juga redistribusi anggaran untuk memaksimalkan nilai sosial dan ekonomi dari setiap rupiah APBD. Dengan pendekatan ini, Banjarbaru mampu menahan tekanan pemangkasan Dana Transfer ke Daerah, menjaga stabilitas keuangan daerah, sekaligus memperkuat kapasitas ekonomi lokal dan daya beli masyarakat, menunjukkan bahwa pembangunan yang berkelanjutan dapat dicapai melalui perencanaan yang cerdas, berpihak, dan inovatif.

Di tengah tekanan pemangkasan Dana Transfer ke Daerah, strategi Banjarbaru menegaskan pelajaran penting tentang pembangunan berkelanjutan. Efisiensi belanja menjadi prinsip mutlak: setiap rupiah APBD diarahkan pada program prioritas yang menghasilkan dampak nyata bagi kesejahteraan masyarakat, bukan untuk proyek mewah atau agenda politis. Penguatan Pendapatan Asli Daerah melalui optimalisasi pajak, digitalisasi layanan retribusi, dan inovasi kerjasama pemerintah-swasta (KPBU) menjadi instrumen strategis untuk memperluas basis pendanaan lokal dan mengurangi ketergantungan pada aliran dana pusat.

Selain itu, sinergi pusat-daerah dimanfaatkan secara maksimal. Meski Dana Transfer ke Daerah berkurang, Banjarbaru harus bisa memanfaatkan alokasi program kementerian dan lembaga senilai Rp1.367 triliun pada 2026 untuk membiayai pembangunan rumah layak huni bagi MBR, sekolah rakyat, dan program sosial seperti Makan Bergizi Gratis. Pendekatan ini bukan sekadar mitigasi, tetapi juga pengelolaan ekonomi daerah yang adaptif, memastikan bahwa pengurangan aliran pusat tidak mengganggu kapasitas kota dalam memberikan layanan publik, menjaga pertumbuhan ekonomi lokal, dan memperkuat ketahanan sosial masyarakat. Dengan prinsip alokasi anggaran yang tepat sasaran dan pengelolaan keuangan yang disiplin, Banjarbaru menegaskan bahwa keterbatasan anggaran bukan penghalang bagi pembangunan yang berkelanjutan dan berorientasi pada masyarakat.

Tahun 2026 memang menghadirkan tantangan keuangan yang signifikan. Namun, pilihan sikap politik yang tegas dan kebijakan strategis Walikota Lisa memberikan arah yang jelas. Fokus pada efisiensi belanja, penguatan PAD melalui digitalisasi dan inovasi, serta keberpihakan anggaran pada program yang langsung dirasakan masyarakat menjadikan Banjarbaru tidak hanya mampu menahan tekanan, tetapi juga menyiapkan pondasi untuk pertumbuhan berkelanjutan.

Dengan langkah-langkah yang terukur dan prioritas anggaran yang jelas, Banjarbaru terus bergerak mantap menuju visi Banjarbaru Emas—kota yang elok, maju, adil, dan sejahtera. Setiap kebijakan, setiap rupiah APBD, dan setiap program pembangunan diarahkan untuk menghasilkan dampak nyata bagi masyarakat serta memastikan keberlanjutan ekonomi lokal. Strategi ini menunjukkan bahwa Banjarbaru tidak sekadar bertahan menghadapi pemangkasan dana pusat, tetapi secara aktif menyiapkan fondasi untuk lompatan besar menuju kesejahteraan yang berkelanjutan. Kota ini menegaskan prinsip fundamental pengelolaan keuangan: anggaran bukan sekadar angka di APBD, melainkan instrumen pemberdayaan rakyat, penguatan kapasitas ekonomi, dan perwujudan masa depan yang mandiri, inklusif, dan penuh keyakinan bagi seluruh warganya.(nw)

Tinggalkan Balasan

Latest from Blog