NEWSWAY.CO.ID, JAKARTA – Gugatan sengketa Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilihan Wali Kota Banjarbaru Tahun 2024 yang diajukan oleh Syarifah Hayan dan Udiansyah tak hanya menyoroti cacat teknis dalam pelaksanaan pemilu, tetapi juga membuka tabir tekanan dan intimidasi terhadap pemantau pemilu.


Tekanan Terhadap Pemantau Pemilu:



Syarifah, yang mewakili Lembaga Pengawasan Reformasi Indonesia (LPRI), menyatakan bahwa sejak mengajukan gugatan ke MK:

- Akreditasinya sebagai lembaga pemantau dicabut oleh KPU dan Bawaslu.
- Ia ditetapkan sebagai tersangka oleh aparat penegak hukum.
- Mengalami intimidasi dan tekanan agar mencabut permohonan.
“Kami tak mengerti. Proses hukum kami justru dibalas dengan kriminalisasi. Ini bentuk penghalangan terhadap partisipasi masyarakat dalam mengawal demokrasi,” ujar Syarifah dalam persidangan.
Meski ditekan, ia menegaskan akan terus melawan. “Sekali maju, pantang menyerah melawan ketidakadilan.”

Pelanggaran Prosedural dan Sosialisasi:
Dalam permohonan yang disampaikan, para pemohon juga menyoroti berbagai persoalan teknis selama PSU:
- Tidak adanya opsi kolom kosong pada surat suara.
- Kurangnya sosialisasi kepada pemilih mengenai prosedur memilih dalam pemilihan satu calon.
- Perbedaan DPT antara Pilkada sebelumnya dan PSU.
- Distribusi undangan memilih yang tidak merata.
Tudingan Terhadap Tokoh Berpengaruh:
Kuasa hukum pemohon, Denny Indrayana, menyoroti pernyataan Ghimoyo, tokoh relawan nasional yang juga menjabat di BUMN, yang menyebut “dari 75.000 kita siram” sebagai bukti adanya politik uang terstruktur.
Klaim Jumlah Suara dan Tuntutan:
- Suara sah untuk pasangan tunggal: 36.135 suara (31,5%)
- Suara tidak sah: 78.736 suara (68,5%)
Dalam petitumnya, pemohon meminta MK:
- Membatalkan hasil PSU Pilwalkot Banjarbaru.
- Diskualifikasi pasangan calon tunggal Erna Lisa–Wartono.
- Menyatakan kolom kosong memperoleh 51.415 suara dan merupakan pemenang.
- Memerintahkan PSU ulang pada 27 Agustus 2025 di bawah pengawasan KPU RI.
Dua gugatan ini bukan sekadar soal hasil pemilu, tetapi menjadi simbol perlawanan terhadap pelemahan demokrasi, penghilangan hak pemilih, dan tekanan terhadap partisipasi sipil dalam mengawasi jalannya pemilu yang jujur dan adil.