NEWSWAY.ID, BANJARMASIN – Perkembangan teknologi di zaman sekarang sangat masif, terutama dalam sektor jual beli, seperti layanan Quick Response Indonesian Standard (QRIS).

Dilansir dari laman resmi Bank Indonesia, QRIS merupakan kombinasi berbagai jenis QR dari beragam Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) yang memanfaatkan QR Code.

Layanan yang dikembangkan oleh industri sistem pembayaran bersama dengan Bank Indonesia ini bertujuan memudahkan proses transaksi QR Code dengan cepat dan terjamin keamanannya.

Penerapan QRIS umumnya banyak terdapat di pasar modern seperti mall, warung, dan tiket wisata.

Namun, apa jadinya jika layanan ini diterapkan di pasar tradisional seperti pasar terapung Lok Baintan?
Fenomena ini saat ini sedang diteliti oleh Tim Program Kreativitas Mahasiswa Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) QRIS Lok Baintan Universitas Lambung Mangkurat (ULM).
Sebagai informasi awal, PKM RSH merupakan program yang diusung oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Ditjen Diktiristek) yang berfokus pada menelaah fenomena sosial di lingkup masyarakat.

Menurut Dosen Pendamping PKM-RSH QRIS Lok Baintan ULM, Sriwati, pemilihan Pasar Lok Baintan sebagai tempat penelitian didasarkan pada statusnya sebagai pasar tradisional pertama yang menggunakan layanan QRIS di Kalimantan Selatan.
“Pasar terapung ini adalah pasar tradisional di mana transaksi masih banyak dilakukan secara tradisional, bahkan ada yang barter. Namun, QRIS berhasil masuk,” kata Sriwati saat ditemui di ruang kerjanya, Senin (15/7/2024).
Pemikiran ini menjadi alasan utama mengapa QRIS dijadikan topik utama penelitian, karena menurut tim, ini adalah sesuatu yang menarik dan penting untuk diangkat.
“Fokus kami adalah penggunaan QRIS, efektivitasnya, dan pengaruhnya terhadap ekonomi pasar,” jelas Sriwati.
Dosen Pendidikan Sejarah FKIP ULM ini menjelaskan bahwa penggunaan QRIS di pasar tersebut dilatarbelakangi oleh pandemi COVID-19 yang mengharuskan jaga jarak, sehingga para pedagang berinisiatif menggunakan transaksi online.
“Pedagang sendiri yang tertarik untuk menggunakan QRIS, sampai ada calo yang membantu membuatnya,” terangnya.
Namun, ada banyak kendala dalam penerapan QRIS di Pasar Terapung Lok Baintan yang menyebabkan pemanfaatannya kurang optimal.
“Salah satu kendalanya adalah kemampuan para pedagang untuk beradaptasi dengan teknologi yang masih sulit karena faktor usia dan lingkungan yang tidak terbiasa dengan smartphone,” sambung Sriwati.

Sriwati menyarankan agar pemerintah atau bank terkait melakukan sosialisasi mengenai penggunaan QRIS untuk meningkatkan pengetahuan pedagang.
“Mungkin perlu ada sosialisasi dari dinas pariwisata tentang penggunaan smartphone dan kemudahan layanan QRIS,” pesannya.
Di sisi lain, progres tim bimbingannya saat ini sudah mencapai 85%, tinggal menyelesaikan laporan dan luaran lainnya.
“Observasi dan wawancara sudah selesai, tinggal menuliskan laporan serta memproses publikasi artikel ilmiah dan poster penggunaan QRIS,” beber Sriwati.
Sebagai dosen pendamping, Sriwati hanya memberikan saran dan pendapat kepada timnya, sementara eksekusi dilakukan oleh mahasiswa.
“Yang lebih banyak bergerak adalah tim peneliti. Saya hanya bekerja di belakang layar, membantu mengoreksi dan memoles ide dari mereka,” imbuh Sriwati.
Target tim bimbingannya saat ini adalah lolos Pekan Ilmiah Nasional (Pimnas) yang akan diselenggarakan pada bulan Oktober mendatang.
“Kami berharap dapat masuk Pimnas sehingga dampaknya lebih besar, diketahui dan didengar oleh banyak orang terkait perkembangan pasar terapung, khususnya dalam hal transaksinya,” ungkap Sriwati.
Sebelum itu, timnya harus berjuang dalam evaluasi PKP2, di mana pihak penilai akan mempertimbangkan apakah mereka layak masuk Pimnas atau tidak.

Salah satu anggota Tim PKM-RSH QRIS Lok Baintan ULM, M Taufik Ridhani, menyatakan bahwa selain meneliti, timnya juga rajin membuat konten seputar Pasar Terapung Lok Baintan guna mengenalkannya kepada khalayak umum.
“Kami memiliki media sosial Instagram, di sana kami sering menceritakan fakta-fakta unik terkait Lok Baintan. PKM ini ditujukan kepada masyarakat agar hasil penelitian ini berguna bagi mereka ke depannya,” tutur Taufik saat diwawancarai, Senin (15/7/2024).
Seperti yang dijelaskan oleh narasumber sebelumnya, penerapan QRIS di Pasar Terapung Lok Baintan masih belum optimal.
Taufik menambahkan bahwa salah satu faktor pemicunya adalah kurangnya akses internet di lokasi pasar.
“Karena pasar ini berada di tengah-tengah sungai, sinyal sering hilang. Sementara kita tahu QRIS membutuhkan koneksi internet,” paparnya.

Di waktu yang sama, Ketua Tim PKM-RSH QRIS Lok Baintan, Ni Made Febrianti Eka Putri, menyebutkan kendala lain yang sering ditemui timnya adalah sulitnya menemukan informan dari pedagang pengguna QRIS di pasar tradisional ini.
“Hanya sedikit yang menggunakan QRIS di sini, sekitar 10 orang, namun tidak semua aktif menggunakan,” ucap Febrianti.
Mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP ULM ini berharap penerapan QRIS di Pasar Terapung Lok Baintan ke depannya semakin berkembang mengingat banyaknya kemudahan yang ditawarkan.
“Kami berharap QRIS tetap digunakan di sana karena layanan ini mempermudah transaksi tanpa uang tunai dan pedagang tidak perlu menyiapkan uang kembalian,” pungkasnya.