Di sudut dapur sederhana milik seorang ibu paruh baya di Desa Rantau Bujur, aroma harum serai dan bawang menyapa hidung siapa saja yang berkunjung.
Dari dapur itulah, racikan tradisional bernama ‘uyah wadi’ lahir, diwariskan turun-temurun, dan masih dijaga hingga hari ini.
Timah, seorang perempuan setempat yang tetap setia menumbuk rempah, mencampurnya dengan garam, dan menyiapkan bumbu warisan Banua itu dengan ketelatenan khas tangan-tangan berpengalaman.
“Bahan-bahannya sederhana, semua dari sekitar sini,” ujarnya sambil tersenyum. Serai, laos, bawang putih, bawang merah, cabai rawit, gula habang (gula merah), dan asam kamal (asam jawa), semuanya diolah bersama air uyah (air garam) menjadi campuran yang harum, kuat, dan penuh cita rasa.
Bumbu yang Menyimpan Sejarah
Di tengah arus modernisasi, saat bumbu instan mendominasi rak-rak dapur, ‘uyah wadi’ muncul sebagai pengingat akan kekayaan kuliner lokal yang nyaris terlupakan.
Lebih dari sekadar pelengkap rasa, bumbu ini menyimpan cerita masa lalu: tentang kebiasaan nenek moyang dalam mengawetkan ikan, tentang kearifan dalam mengolah bahan-bahan alami, dan tentang rasa yang menyatu dengan identitas orang Banua.
Timah menjelaskan, ‘uyah wadi’ biasanya digunakan sebagai bumbu untuk memasak wadi, hidangan khas dari ikan yang difermentasi dengan rempah dan garam. Tapi ternyata, fungsinya tak hanya itu.
“Bisa juga untuk mancuk,” katanya, merujuk pada rujak buah segar ala lokal. “Kalau makan mangga muda, jambu, atau buah lain, tambah ‘uyah wadi’ jadi lebih enak. Ada rasa asin, asam, pedas… segar sekali,” tambah Timah.

Bentuk Boleh Berbeda, Cita Rasa Tetap Sama
Timah kini membuat dua versi dari ‘uyah wadi’: yang satu berbentuk bubuk, dan yang lain kental seperti pasta. Keduanya memiliki penggemar tersendiri.
“Ada yang suka bubuk karena gampang ditabur. Tapi ada juga yang suka yang kental, karena lebih kuat rasanya. Tergantung selera,” jelasnya.
Bumbu ini bisa bertahan lama karena kadar garamnya yang tinggi, sekaligus membuat rasanya semakin kaya.
Dalam sekali olah, Timah bisa memenuhi permintaan pelanggan dari desa sekitar hingga ke luar kota.
Meracik Bumbu, Merawat Tradisi
Lebih dari sekadar pekerjaan harian, bagi Timah, membuat ‘uyah wadi’ adalah upaya menjaga warisan leluhur. Ia mengajarkan anak-anak dan cucunya tentang pentingnya menjaga resep keluarga, tentang nilai dari bahan alami, dan tentang mencintai rasa lokal.
“Kalau bukan kita yang melestarikan, siapa lagi?” ujarnya lirih.
Di era yang serba instan, cerita seperti Timah dan ‘uyah wadi’-nya memberi warna berbeda. Ia bukan sekadar produsen bumbu, tapi penjaga tradisi rasa dari Hulu Sungai Tengah.
Rasa yang Tidak Sekadar di Lidah
‘Uyah wadi’ mungkin tak sepopuler sambal kemasan atau bumbu instan buatan pabrik. Namun bagi mereka yang pernah mencicipinya, ia menyimpan kenangan akan rumah, akan ibu di dapur, dan akan masa kecil yang sederhana.
Dan di tangan Timah, bumbu ini tak hanya menguatkan rasa makanan, tapi juga menguatkan identitas Banua yang kaya akan warisan kuliner dan semangat gotong royong.