NEWSWAY.CO.ID, BANJARBARU – Kejadian mengejutkan datang dari proses pemasyarakatan terpidana pembunuhan berencana atas nama Jumran, eks-Kelasi Satu TNI AL yang telah diberhentikan tidak dengan hormat (PTDH).

Tanpa pemberitahuan resmi kepada keluarga korban maupun penasihat hukum, Jumran tiba-tiba dipindahkan dari wilayah hukum Banjarbaru ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Balikpapan.


Keluarga korban almarhumah Juwita menyampaikan protes keras atas pemindahan ini.
Mereka menduga kuat adanya pelanggaran prosedur hukum, penyalahgunaan wewenang militer, dan potensi perlakuan istimewa terhadap pelaku pembunuhan berencana.
Lari dari Locus Delicti, Terhindar dari Pengawasan?
Informasi soal pemindahan ini baru diketahui keluarga pada Rabu (25/6/2025), setelah menerima foto dari pihak ketiga yang menunjukkan Jumran sedang dikawal personel TNI AL di bandara.
Tidak ada pemberitahuan resmi dari pihak militer sebelumnya. Upaya klarifikasi kepada Kepala Oditurat Militer (Kaotmil) justru menimbulkan tanda tanya baru: pemindahan disebut atas “permintaan Danlanal Balikpapan”, yang kemudian dibantah sendiri oleh Danlanal Balikpapan saat dihubungi keluarga.
“Ini bukan sekadar soal lokasi, ini soal keadilan. Kenapa dipindahkan ke luar wilayah kejadian tanpa pemberitahuan? Apakah karena ada sesuatu yang disembunyikan?” ujar Fajri Kuasa Hukum Keluarga Juwita.
Oditurat Militer Diduga Langgar UU Pemasyarakatan
Pemindahan ini diduga melanggar sejumlah ketentuan hukum. Pasal 256 ayat (3) UU No. 31 Tahun 1997 memang mengatur bahwa terpidana militer yang telah di-PTDH harus menjalani pidana di Lapas umum.
Namun lokasi pemasyarakatan harus tetap mengikuti prosedur yang berlaku dalam UU No. 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan.
Dalam aturan tersebut, hanya Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham yang berwenang memutuskan pemindahan narapidana.
Oditurat Militer tidak memiliki kewenangan administratif untuk menentukan lokasi pemidanaan setelah vonis inkracht.
“Kami menuntut kejelasan: siapa yang memerintahkan, di mana surat keputusannya, dan atas dasar hukum apa. Ini bukan wewenang Otmil,” tegas Fajri.
Perlakuan Istimewa? Publik Berhak Curiga
Yang paling menyakitkan bagi keluarga adalah dugaan bahwa pemindahan ini berpotensi membuka ruang bagi perlakuan khusus terhadap terpidana.
Dengan ditempatkan jauh dari tempat kejadian perkara dan domisili keluarga korban, pengawasan publik atas pelaksanaan hukum menjadi sangat minim.
“Kami mencium adanya upaya menjauhkan Jumran dari pantauan publik. Kenapa harus dipindahkan ke tempat yang justru mempersulit kami mengawasi?” kata Praja salah satu anggota keluarga.
Padahal tidak ada keputusan pengadilan atau alasan keamanan yang menyatakan Lapas di Banjarbaru tidak layak menampung.
Ini memperkuat kecurigaan bahwa pemindahan tersebut mengandung motif yang tidak transparan dan diskriminatif.
Keadilan yang Dicederai, Trauma yang TerulangBagi keluarga korban, tindakan sepihak ini membuka luka lama.
Mereka merasa kembali disakiti oleh sistem hukum yang seharusnya menjadi pelindung. Selain kehilangan orang yang dicintai, kini mereka juga dihadapkan pada kenyataan bahwa proses hukum terhadap pelaku berjalan tertutup dan mencurigakan.
“Bagaimana kami bisa percaya pada keadilan kalau pelaku dipindahkan diam-diam seperti ini? Kami bukan hanya kehilangan Juwita, kami juga kehilangan rasa keadilan,” ucap Praja dengan nada penuh kecewa.
Tuntutan Keluarga: Jangan Lindungi Pelaku Kejahatan Serius!
Melalui Tim Advokasi Untuk Keadilan (AUK) Juwita, keluarga menyampaikan lima tuntutan tegas:
1. Menolak pemindahan Jumran ke Lapas Balikpapan tanpa dasar hukum dan mendesak pembukaan semua dokumen administratif yang melandasi keputusan itu.
2. Meminta Jumran dikembalikan ke wilayah Banjarbaru, lokasi kejadian perkara dan yurisdiksi pengadilan yang mengadili.
3. Mendesak transparansi dan akuntabilitas dalam setiap proses eksekusi pidana, serta keterlibatan keluarga dan penasihat hukum dalam informasi hukum terpidana.
4. Menuntut pertanggungjawaban Oditurat Militer atas tindakan yang dinilai menyalahi prosedur dan merusak kepercayaan publik.
5. Mendorong pelaksanaan upacara PTDH secara terbuka, disaksikan keluarga korban sebagai bentuk pemulihan moral dan simbolis.
Keluarga korban juga meminta Panglima TNI, Komisi III DPR RI, Komnas HAM, dan Kemenkumham untuk turun tangan dan mengevaluasi proses pemidanaan ini demi menjaga marwah keadilan dan supremasi hukum.
Di Mana Keadilan Jika Hukum Bisa Dilompati?
Kasus ini menunjukkan bahwa keadilan sejati tidak hanya berhenti di ruang sidang, tetapi juga bergantung pada cara negara menjalankan hukum tanpa keberpihakan.
Ketika prosedur dilangkahi dan pelaku mendapat perlakuan istimewa, keadilan bukan hanya tak tercapai tapi benar-benar dicederai.