NEWSWAY.CO.ID, YOGYAKARTA – Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, HM Soeharto, memunculkan kembali perdebatan panjang tentang warisan politik Orde Baru. Bagi sebagian pihak, keputusan ini dianggap sebagai penghormatan atas jasanya dalam pembangunan ekonomi. Namun bagi yang lain, langkah ini justru menjadi bentuk rekonstruksi sejarah yang mengaburkan jejak kelam masa lalu.
Koordinator Program Studi Magister Ilmu Komunikasi UPN Veteran Yogyakarta, Assoc Prof Dr Edwi Arief Sosiawan SIP MSi CIIQA CIAR CPM (Asia) menilai keputusan tersebut tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik ingatan. Menurut pandangan teori kritis, pemberian gelar ini dinilai sebagai upaya kelompok berkuasa untuk membingkai ulang sejarah sesuai kepentingan mereka.
“Teori kritis menyoroti bagaimana kekuasaan membentuk narasi sejarah. Gelar heroik bagi Soeharto bisa dimaknai sebagai usaha merevisi sejarah dan menormalkan praktik impunitas negara,” ujarnya, Selasa (11/11/2025).
Edwi menjelaskan, rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto selama 32 tahun (1966-1998) menyisakan warisan yang kontradiktif, di satu sisi dianggap membawa stabilitas dan pertumbuhan ekonomi, namun di sisi lain meninggalkan luka mendalam akibat pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), praktik Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Para pendukung kebijakan ini, seperti mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) dan Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul), menilai bahwa perdebatan soal Soeharto seharusnya diakhiri. Mereka menekankan kontribusi Soeharto terhadap pembangunan nasional dan diplomasi regional, terutama perannya dalam pembentukan ASEAN.
“JK menyebut, kekurangan Soeharto tidak meniadakan jasa besarnya bagi bangsa. Sementara Gus Ipul menegaskan, proses penetapan gelar pahlawan telah melalui kajian panjang dan diskusi intensif,” kata Edwi.
Namun, kelompok pegiat HAM seperti KontraS menyatakan penolakan keras. Mereka menilai Soeharto bertanggung jawab atas pelanggaran HAM berat yang diakui Presiden Joko Widodo, antara lain tragedi 1965-1966, penembakan misterius 1980an, penghilangan paksa aktivis 1997-1998, hingga tragedi Wamena 2003. Menjadikan Soeharto sebagai pahlawan berarti menutup mata terhadap penderitaan korban dan menghapus jejak kekerasan negara.
Sebagian kalangan berpendapat, penghargaan bagi Soeharto seharusnya diberikan sebatas pengakuan atas peran militernya dalam Serangan Umum 1 Maret 1949, bukan sebagai Pahlawan Nasional dengan makna politik yang lebih luas.
Edwi menilai, keputusan pemerintah memberi gelar tersebut tidak sekadar bentuk penghormatan, melainkan juga bagian dari politik narasi.
“Ini bukan semata soal penghargaan, melainkan strategi simbolik untuk menata ulang memori kolektif bangsa,” katanya.
Ia mengingatkan, langkah ini justru bisa menghambat upaya rekonsiliasi dan keadilan bagi para korban pelanggaran HAM masa Orde Baru.
“Pertanyaan yang perlu kita ajukan adalah, apakah capaian ekonomi dapat menebus pelanggaran kemanusiaan, ataukah keduanya harus dihadapi secara jujur dan dialektis untuk membangun sejarah yang adil?” ujar Edwi.
Menurutnya, perdebatan soal Soeharto menggambarkan pertarungan dua narasi besar, yakni narasi pembangunan dan stabilitas versus narasi kekerasan dan otoritarianisme.
“Dari sudut teori kritis, keputusan politik ini tidak hanya soal penghargaan personal, melainkan tindakan yang memengaruhi cara publik memahami sejarah dan masa depan bangsa. Kita perlu keberanian kolektif untuk melihat sejarah secara utuh, bukan hanya bagian yang menyenangkan,” pungkasnya.(nw)
