Penulis : Yopi Ardiansyah
Awal kepemimpinan Erna Lisa Halaby sebagai Wali Kota Banjarbaru seolah membawa harapan akan wajah kepemimpinan baru yang lebih membumi, sederhana, dan berpihak kepada rakyat.

Salah satu sinyal yang memperkuat citra itu adalah pernyataannya yang memutuskan menunda pembangunan rumah dinas wali kota, proyek bernilai Rp17,9 miliar yang telah dirancang sejak periode sebelumnya.


Lisa menyebut akan memfokuskan anggaran 2025 untuk kegiatan yang “lebih menyentuh langsung masyarakat”. Kalimat itu terdengar mulia seolah pembangunan rumah dinas dipandang terlalu elitis di tengah banyaknya kebutuhan masyarakat yang lebih mendesak.
Bahkan Ketua DPRD Kota Banjarbaru, Gusti Rizky Sukma Iskandar Putera, turut mendukung langkah tersebut dengan menyatakan proyek ini memang patut dikaji ulang.

Namun, dalam dokumen Rancangan Awal RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) Kota Banjarbaru 2025–2029, ternyata pembangunan rumah dinas justru kembali dicantumkan sebagai program prioritas.
Inkonsistensi mulai terasa. Apalagi hingga kini belum jelas apakah rumah dinas akan tetap dibangun di lokasi awal, yaitu eks Kantor Disdukcapil, atau justru akan dipindahkan ke lokasi baru.
Patut dicatat, pada era Wali Kota sebelumnya, Aditya Mufti Ariffin, pembangunan rumah dinas ini tidak dimaksudkan sebagai proyek “membangun dari nol”, melainkan bentuk efisiensi dengan memanfaatkan aset daerah yang sudah ada agar lebih berdaya guna.
Lahan eks Kantor Disdukcapil sudah dimiliki Pemkot dan rencana desainnya pun sudah memasukkan elemen fungsional: pendopo, aula, dan fasilitas servis.
Namun, gelagat saat ini menunjukkan kemungkinan lain: proyek ditunda bukan untuk efisiensi, melainkan agar kemudian dibangun ulang dari titik nol di tempat baru, dengan desain baru, dan tentu saja… anggaran baru yang berpotensi membengkak.
Karena jika benar lahan baru harus dibeli, maka biaya pembangunan rumah dinas ke depan bisa melampaui pagu Rp17,9 miliar.Yang lebih ironis: aset lama yang semula hendak dimanfaatkan kini terancam jadi aset tidur.
Sebuah gedung tak terpakai yang gagal dijadikan rumah dinas, tidak juga dijadikan kantor, apalagi tempat pelayanan publik.
Pertanyaan publik pun muncul: mengapa rumah dinas yang semula hanya menyesuaikan dari bangunan lama kini seolah tidak layak huni? Apakah benar karena alasan teknis? Ataukah karena faktor non-teknis yakni, sang wali kota tidak ingin tinggal di bangunan “bekas kantor”, dan lebih memilih rumah baru yang sesuai selera kekuasaan?
Kalau memang hanya karena enggan menempati bangunan lama, maka penundaan pembangunan rumah dinas bukanlah bagian dari efisiensi, melainkan sekadar menunggu waktu untuk mewujudkan “rumah impian” yang lebih prestisius.
Dan jika benar pembangunan rumah dinas akan dilakukan di lokasi baru, maka proyek yang awalnya ditunda demi rakyat justru bisa jadi lebih membebani rakyat.
Pada akhirnya, publik berharap jangan sampai rumah yang diniatkan untuk menjadi simbol kehadiran pemimpin di tengah kota, justru menjadi simbol keterputusan pemimpin dari rasa cukup dan rasa empati kepada kondisi masyarakatnya sendiri.
Jika rumah dinas lama yang sudah dirancang efisien dan strategis dianggap tak layak, maka ini bukan hanya soal tempat tinggal. Ini soal keberpihakan yang sesungguhnya.
Dan kini, publik hanya bisa bertanya: benarkah harapan baru harus selalu dimulai dari rumah yang baru? Tentunya Walikota Lisa harus bisa menjelaskan.