Hilangnya Hutan Kalimatan Tengah, Telah merampas Ruang hidup Perempuan

Ketua Komite persiapan Seruni kalteng Novi Adventi Juran setelah diwawancara ( Foto: Winda/newsway.co.id)

NEWSWAY.CO.ID, PALANGKA RAYA – Hari perempuan Internasional ( HPI) biasa digelar setiap tanggal 8 maret, momentum ini digunakan para aktivis perempuan untuk menyuarakan situasi perempuan di seluruh dunia begitu pula di Kalimantan Tengah para aktivis perempuan menjadikan 8 maret sebagai upaya untuk menghentikan segala bentuk penindasan terhadap perempuan

~ Advertisements ~

Berdasarkan catatan situs resmi IWD, sejarah peringatan ini bermula karena terjadinya penindasan terhadap kaum Hawa. Perempuan di berbagai negara pada tahun 1900-an yang kemudian perempuan bergerak untuk menyuarakan perubahan.

~ Advertisements ~
~ Advertisements ~

Ketua komite Persiapan Serikat Perempuan Indonesia ( Seruni) Novia Adventi Juran menyampaikan, Hari Perempuan Internasional atau lebih dikenal dengan International Women’s Day (IWD).

~ Advertisements ~

Peringatan ini dirayakan oleh hampir seluruh perempuan di berbagai negara di belahan dunia karena menjadi simbol pencapaian perempuan tanpa memandang asal, etnis, bahasa, budaya, ekonomi, maupun pandangan politik.

~ Advertisements ~

“Tanggal 8 maret adalah hari bersejarah bagi kaum perempuan di seluruh dunia termasuk di Indonesia terkhusus di Kalimantan Tengah, untuk bangkit dan melawan ketidak adilan,” kata Novi, Rabu (12/2/2025)

Novi menjelaskan, situasi Perempuan di Kalimantan Tengah khususnya saat ini tidak baik – baik saja, banyak sekali pembatasan ruang gerak bagi perempuan, selain itu hilangnya hutan membuat perempuan Dayak kehilangan identitasnya

” Bicara konteks kalteng, tentunya perempuan dayak dari jaman dulu melihat hutan bukan hanya sekedar pohon dan lain sebagainya tapi hutan memiliki ikatan spiritual yang besar bagi perempuan dayak” Ujar Novi

Novi menjelaskan, perempuan dayak yang memiliki ikatan spiritual dengan alam, hutan telah kehilangan identitasnya sebagai perempuan dayak yang memegang teguh warisan leluhur mereka dengan hilang nya hutan dan rusaknya alam.

“Bagi perempuan dayak hutan bukan hanya sekedar pohon besar tapi pohon tersebut dianggap mereka sebagai penyeimbang alam, di hutan juga mereka bukan sekedar bicara tentang ekonomi dari hamparan rotan yang melimpah dan bisa menjadi alat untuk ekonomi,” Jelas Novi.
Tapi, lanjut Novi juga bicara tentang obat tradisional, bahan – bahan ritual adat yang hanya ada dihutan, bagi mereka bukan hanya hutan biasa, mereka menilai sebagai hutan yang dilindungi secara spiritual

Lanjut Novi, dengan hadirnya korporasi yang merambah hutan, telah menghilangkan pohon besar yang mereka keramatkan sebagai tempat sandung nenek moyang mereka bersemayam, kehilangan obat-obatan tradisional dan yang lebih parah adalah hilangnya sumber penghidupan serta identitas mereka sebagai perempuan dayak.

“Dengan hilangnya obat -obatan tradisional saat ini mereka harus mengeluarkan biaya lebih besar jika sakit dan berobat kerumah sakit dengan sistem kapitalis yang semakin melemahkan ekonomi perempuan” Paparnya

Novi juga menegaskan hilangnya sumber ekonomi di hutan membuat perempuan semakin kesulitan untuk mendapatkan penghasilan, dan semakin berkurangnya pengrajin rotan yang dimana anyaman rotan adalah warisan leluhur yang harus dilestarikan.

Dengan hilangnya Hutan sebagai identitas perempuan karna korporasi kapitalis yang semakin mempersempit ruang perempuan, maka saat ini perempuan hanya bisa menjadi buruh sawit di hutannya sendiri dengan upah dan jaminan kesehatan yang tidak diakomodir semakin melemahkan dan menyengsarakan perempuan

Kendati demikian, Novi berharap kedepan pemerintah bisa melihat situasi ini bukan sekedar formalitas saja tapi bagaimana perempuan juga di pastikan mendapatkan Hak dalam berbagai aspek termasuk hak kesehatan, ekonomi sosial dan budaya serta melihat perempuan dayak sebagai perempuan yang kehilangan identitas dan ruang hidupnya, akibat izin perkebunan yang tidak melibatkan perempuan saat konsultasi dan sosialisasi

“Seruni akan menggelar one billion rising ( OBR) dalam memperingati hari perempuan internasional 8 maret 2025 nanti, sebagai bentuk perlawanan atas ketidak adilan terhadap perempuan,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Latest from Blog