NEWSWAY.CO.ID, PALANGKA RAYA- Setiap tanggal 10 Desember diperingati sebagai Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional, hukum yang mengatur hubungan antara penguasa dengan pihak yang diaturnya, yaitu negara dengan individu.

Menurut pandangan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Tengah (Kalteng), saat ini negara masih banyak melanggar hak masyarakat adat dan keseimbangan lingkungan.


Janang Firman Palanungkai Manager Advokasi, Kampanye, dan Kajian Walhi Kalteng menyampaikan, pemenuhan hak asasi manusia terhadap masyarakat adat dan lingkungan, masih jauh dari harapan.

“Yang pertama, dalam kenyataannya masyarakat banyak dijadikan objek, dari adanya pembangunan dan mengacu pada kebijakan yang banyak kontroversial hari ini, bukan membuat masyarakat adat berdaulat atas tanahnya sendiri, tapi yang terjadi masyarakat adat banyak yang dijadikan korban dari kebijakan investasi yang dilakukan di Kalimantan Tengah,” kata Janang, Selasa (10/12/2024).

Contoh nyata yang terjadi lanjut Janang, konflik agraria di Kabupaten Seruyan di tahun 2024, sampai menewaskan satu orang warga desa Bangkal.
Sampai saat ini, proses hukumnya belum berkeadilan, pelaku pembunuhan hanya dihukum 10 tahun, hal ini yang dianggap belum terpenuhinya hak atas hidupnya, hak hidup sebagai manusia, belum terpenuhinya konsep memanusiakan manusia.
Janang menjelaskan, di Kabupaten Seruyan, masyarakat menuntut haknya atas plasma yang merupakan bagian tanggungjawab korporasi itu ditiadakan, yang ada malah dibenturkan dengan penegak hukum.
“Ketika masyarakat menuntut keadilan, malah berujung pada kriminalisasi sampai berujung kematian, ini terjadi di Kecamatan Seruyan Tengah dan di Kecamatan Seruyan Raya itu menjadi contoh hilangnya hak masyarakat dalam menuntut haknya,” jelas Janang.
Janang menegaskan, proses pengakuan masyarakat hukum adat, masih sangat jauh sekali dari angka yang seharusnya dicapai oleh pemerintah daerah.
Seharusnya, lanjut Janang satu Kabupaten itu didorong memiliki regulasi, sampai saat ini masih banyak Kabupaten yang belum memiliki regulasi untuk pemenuhan, perlindungan, pengakuan hukum adat dan belum sampai 50 persen pengakuan masyarakat adat.
Menurut Janang, dari data yang dimiliki Walhi, Kalimatan Tengah 72 persen sudah dikuasai oleh konsensi lahannya dan mengancam keberlangsungan wilayah adat.
Jika saat ini belum ada pengakuan, perlindungan dan pemenuhan negara masih abai terhadap hak asasi manusia.
Harapan Walhi kedepan, masyarakat adat bisa berdaulat di wilayahnya sendiri dan keseimbangan lingkungan bisa terjaga, tentunya ini berkaitan langsung dengan kebijakan pemerintah bisa memperhatikan hak masyarakat dan hak lingkungan hidup.
Lanjut Janang menegaskan, Pengelolaan wilayah adat yang dijaga dan dirawat dengan kearifan lokal, bisa mengurangi krisis iklim dan bencana ekologi yang semakin nyata, yang saat ini sedang digaungkan oleh dunia secara global soal komitmen untuk transisi energi untuk mencegah krisis iklim. Bukan melanggengkan korporasi dan investasi berbasis lahan sekala besar yang semakin masif.
“Pemenuhan Hukum adat dan pengakuan, perlindungan dan pemenuhan masyarakat adat, berkaitan dengan keseimbangan lingkungan, maka refleksi diakhir tahun yang bertepatan dengan hari HAM internasional, pemerintah bisa memenuhi hak masyarakat adat dan hak perlindungan lingkungan hidup,” pungkas Janang.