Di antara debur ombak Selat Pulau Laut dan geliat pelabuhan rakyat yang masih menggantungkan harapan pada kapal penyeberangan, sebuah mimpi besar perlahan mulai menjelma nyata.
Mimpi tentang konektivitas, tentang perubahan, dan tentang harapan baru: Jembatan Pulau Laut Kotabaru–Batulicin.
Yang menarik, proyek infrastruktur raksasa ini justru dibangun di tengah kenyataan pahit: Kabupaten Kotabaru merupakan daerah termiskin kedua di Kalimantan Selatan, berdasarkan data BPS 2025.
Angkanya bukan sekadar statistik, ada 15.980 jiwa yang masih bergelut dengan garis kemiskinan, sekitar 4,45 persen dari total penduduknya.
Namun, seperti pepatah lama yang bilang “di balik badai, ada pelangi,” jembatan sepanjang 3,75 kilometer ini datang sebagai janji perubahan.
Sebuah penghubung yang bukan hanya menyatukan dua daratan, tapi juga membuka akses menuju masa depan yang lebih cerah bagi masyarakat Kotabaru dan Tanah Bumbu.
*Dibangun dengan Semangat Bersama
Jembatan ini bukan proyek kecil. Total anggaran Rp3,6 triliun digelontorkan dengan skema pembiayaan sharing, dari berbagai sumber : APBN sebesar Rp1 triliun, APBD Provinsi Kalsel Rp500 miliar, lalu kontribusi masing-masing dari Kabupaten Kotabaru dan Tanah Bumbu sebesar Rp250 miliar.
Tak kalah penting, ada dukungan dana dari pihak ketiga dan skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) sebesar Rp1,6 triliun.
Meski pembangunan sempat senyap dari pemberitaan, tekad untuk melanjutkannya tak pernah benar-benar padam.
Pemerintah Kabupaten Kotabaru, Tanah Bumbu, serta Pemprov Kalsel tetap menjaga nyala api proyek ini, yang kini kembali bergulir di awal 2025.
*Langkah Kecil Menuju Lompatan Besar
Tepat pada 1 Januari 2025, Gubernur Kalimantan Selatan, H Muhidin, bersama Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol, meninjau lokasi proyek.
Pembangunan pun resmi dimulai, dimulai dari yang paling dasar ‘pondasi’. Sudah 400 meter pondasi dibangun sebelumnya, dan tahun ini ditambah 350 meter lagi. Sebuah proses yang telaten, mengingat besarnya tantangan teknis dan finansial.
Meski target awal penyelesaian selama 2 tahun harus direvisi menjadi 3 tahun, namun semangat tidak surut.
Setiap meter jembatan yang dibangun bukan hanya beton dan baja, melainkan harapan yang dibentuk perlahan.
*Lebih dari Sekadar Jembatan
Bagi banyak warga, jembatan ini bukan sekadar sarana transportasi. Ini adalah jalan keluar dari keterisolasian.
Saat ini, masyarakat Pulau Laut harus bergantung pada kapal penyeberangan untuk ke Batulicin dengan waktu tempuh dan biaya yang tak sedikit.
Tak hanya bagi warga lokal, jembatan ini juga akan membuka peluang investasi baru, mempercepat distribusi barang, dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih merata.
*Sebuah Simbol, Sebuah Komitmen
Pembangunan Jembatan Pulau Laut Kotabaru–Batulicin adalah simbol nyata bahwa pembangunan tidak harus menunggu kemapanan.
Justru dari wilayah dengan keterbatasan, perubahan bisa dimulai. Bahwa infrastruktur tak melulu soal kota besar, tapi juga tentang keadilan akses dan pemerataan pembangunan.
Jika semua berjalan sesuai rencana, dalam tiga tahun ke depan, masyarakat akan bisa melintasi jembatan ini sambil menatap cakrawala baru di ujung sana cakrawala yang selama ini hanya bisa mereka bayangkan.
Karena inilah sejatinya fungsi jembatan: menyambung yang terputus, mempertemukan yang jauh, dan menghadirkan harapan di tempat yang nyaris kehilangan optimisme.