NEWSWAY.CO.ID, BANJARBARU – Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan, menuai sorotan tajam dari mantan Wakil Ketua Komnas HAM RI, Hairansyah.

Ia menilai KPU Banjarbaru gagal menjalankan ketentuan Pasal 54c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 setelah diskualifikasi salah satu pasangan calon (Paslon) pada 1 November lalu.
Menurut Hairansyah, pembatalan Paslon nomor urut 02 oleh KPU Banjarbaru seharusnya memicu mekanisme pemilihan dengan calon tunggal, yaitu satu calon melawan opsi kotak kosong.
“Sejak keputusan pembatalan tersebut, sudah jelas bahwa Pilkada Banjarbaru hanya menyisakan satu calon. Namun, KPU Banjarbaru tidak mengambil langkah-langkah yang sesuai dengan undang-undang,” ujar Hairansyah.
Ia menjelaskan bahwa KPU seharusnya segera menetapkan pemilihan dengan satu pasangan calon, mencabut nomor urut, mensosialisasikan perubahan tersebut kepada masyarakat, dan menyesuaikan desain surat suara.
Namun, keterlambatan respon KPU Banjarbaru menyebabkan surat suara tetap mencantumkan Paslon 02 yang telah didiskualifikasi.
Keputusan KPU yang tidak mencetak ulang surat suara dianggap mencederai demokrasi dan hak pilih masyarakat.
“Dengan adanya PKPU terbaru yang diterbitkan pada 23 November, surat suara yang mencantumkan gambar Paslon 02 dinyatakan tidak sah jika dicoblos. Padahal, KPU Kalsel sebelumnya menyatakan suara tersebut akan dianggap sebagai suara kotak kosong. Ini jelas keliru,” tegasnya.
Hairansyah menilai kebijakan KPU Banjarbaru dan KPU RI telah merampas hak fundamental masyarakat untuk mengekspresikan aspirasinya.
“Kotak kosong adalah instrumen penting untuk menjamin kebebasan masyarakat memilih, sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Namun, kebijakan ini justru menghilangkan opsi tersebut,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia menyebut bahwa pelaksanaan Pilkada Banjarbaru menjadi cacat hukum, prosedural, dan moral.
“KPU Banjarbaru tidak berpegang pada undang-undang sebagai landasan mereka bertindak. Ini merugikan kepentingan publik karena hak pilih masyarakat Banjarbaru tidak terakomodasi,” katanya.
Hairansyah juga mengkritik Bawaslu yang dinilai gagal mendesak KPU Banjarbaru agar mengikuti ketentuan undang-undang terkait penetapan daerah dengan calon tunggal.
“Seharusnya Bawaslu bertindak lebih proaktif dalam mengawasi proses ini,” tambahnya.
Sebagai solusi, ia mendorong masyarakat Banjarbaru untuk mempersoalkan proses dan substansi Pilkada yang dinilai cacat hukum.
“Jika memang ditemukan pelanggaran prosedural dan substansial, pemilihan bisa saja dibatalkan atau diulang sesuai ketentuan undang-undang,” pungkas Hairansyah.